Rasindo News – Penulis : Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria Dr. Moh. Fadli, SH., MH., Dr. Fendi Setyawan, SH., MH., Dr. Jazim Hamidi, SH., MH., Drs. Idham Arsyad, M. Ag..
Kata Pengantar Ketua Komite I DPD RI
Sengketa dan konflik agraria telah terjadi di banyak tempat di penjuru negeri. Permasalahan ini bukanlah permasalahan sambil lalu yang bisa diabaikan begitu saja. Permasalahan sengketa dan konflik agraria telah mengakibatkan banyak korban yang kehilangan tanah, tempat tinggal, mata pencaharian, keluarga dan menjadikan beban hidup menjadi semakin berat. Padahal tujuan negara ini dibentuk,, sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk menyelesaikan segala macam sengketa dan konflik agrarian yang menyebabkan penderitaan anak bangsa, merupakana upaya untuk mencapai cita-cita konstitusi dan oleh karena itu pula perlu dijadikan sebagai agenda konstitusional.
Dalam menjalankan kewenanganya pengawasan yang dimiliki, DPD RI telah berkali-kali menerima laporan dari konstituen dari berbagai daerah mengenai permasalahan sengketa dan konflik agrarian yang dialaminya. Baik itu berkaitan dengan persoalan kehutanan, pertambangan, kelautan, perkebunanan dan kegiatan pertanian lainnya. Bahkan pada tahun 2013 DPD RI merespons berbagai permasalahan sengketa dan konflik agrarian tersebut dengan membentuk Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI. Hasil dari kerja panitia tersebut kemudian diputuskan dalam Keputusan DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013. DPD RI sangat menyadari bahwa eskalasi konflik keagrariaan yang semakin meningkat dan meluas memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang menangani konflik agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap konflik agraria. Oleh karena itu, DPD RI kemudian menyiapkan RUU tentang Pengadilan Agraria untuk mengisi situasi kosong dan kurang memadainya institusi hukum yang ada untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria.
Buku yang ada ditangan Anda ini merupakan kristalisasi dari gagasan rakyat Indonesia yang disampaikan melalui DPD RI untuk membentuk pengadilan khusus yang menangani masalah sengketa dan konflik agraria yang telah disusun ke dalam naskah akademik. Naskah akademik RUU Pengadilan Agraria kemudian disunting untuk menjadi sebuah buku sehingga lebih mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat, para pengambil kebijakan dan juga para akademisi untuk bisa melakukan kajian yang lebih dalam mengenai gagasan untuk pembentukan Pengadilan Agraria.
Atas terbitnya buku ini kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh anggota DPD RI, terutama Komite I DPD RI dan juga Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI. Kami juga berterimakasih kepada para staf ahli, akademisi, organisasi nonpemerintahan dan masyarakat yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh DPD RI untuk menyusun RUU Pengadilan Agraria. Semoga buku ini semakin meningkatka kesadaran akan pentingnya untuk segera membentuk pengadilan khusus untuk yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa dan konflik agraria agar mampu menjadi institusi yang efektif guna mencapai keadilan agraria.
Ketua Komite I DPD RI
H. Alirman Sori, SH, MHum, MM.
Pengantar Editor: Pengadilan Agraria dan Pemulihan Hak Kewarganegaraan
Sengketa dan konflik agraria semakin massif dan meluas. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana konflik di Mesuji, Lampung pada tahun 2012 yang berujung pada tewasnya sejumlah pihak yang bertikai. Baru-baru ini di Karawang petani menolak eksekusi 350 Ha lahan tempat mereka hidup dan mencari penghidupan yang dilakukan atas dalih melaksanakan putusan pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang telah diakuisisi oleh PT Agung Podomoro Land (APL) atas lahan masyarakat. Kekerasan dan intimidasi tak terelakan. Masyarakat berhadapan dengan sekitar 7.000 aparat bersenjata lengkap hendak melakukan eksekusi. Sembilan petani dan empat buruh yang melakukan aksi menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh, lima petani dan satu mahasiswa luka-luka, satu petani diantaranya luka tembak serta puluhan lainnya luka-luka.
Protes masyarakat hadir karena mereka menilai putusan pengadilan tidak adil karena mengusir mereka yang telah tinggal lama disana, membangun kampong menjadi desa definitif dan mempunyia perangkat desa, fasilitas umum dan sosial untuk masyarakat yang berjumlah 420 KK.
Tak berapa lama setelah bentrok antara petani dengan pihak keamanan dalam proses eksekusi, pada tanggal 17-18 Juli 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Karawang (Ade Swara) bersama istri dan enam orang lainnya termasuk pihak perwakilan dari PT. Agung Podomoro Land. Tangkap tangan itu terkait dugaan gratifikasi dalam pengurusan izin tata ruang untuk mempergunakan tanah yang sedang mengalami konflik dengan petani. Operasi ini menunjukan bahwa permasalahan dibalik permasalahan konflik agraria ada saja pihak-pihak yang melakukan cara kotor untuk mengalahkan masyarakat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah ibu-ibu di Kabupaten Rembang melakukan protes terhadap perusahaan PT. Semen Gresik (sekarang PT. Semen Indonesia) yang melakukan operasi pembukaan tambang karst di pengunungan Kendeng yang hanya berjarak 500 meter dari pemukiman dan lahan pertanian mereka. Pasti pembangunan pabrik semen itu akan berdampak kepada masyarakat sekitar yang akan menghirup debu-debu yang hinggap di atas rumah dan ditanaman-tanam hasil pertanian mereka.
Situasi konflik ini masih menunjukan bahwa hukum belum mampu tampil menjadi kekuatan penyeimbang antara orang kecil dihadapan penguasa. Malah seringkali institusi hukum melegitimasi tindakantindakan yang tidak memihak kepada orang kecil. Hal ini sekaligus memberikan penegasan bahwa institusi penegakan hukum belum memadai untuk menyelesaikan permasalahan sengketa dan konflik agraria yang semakin massif dan meluas.
Kurang memadainya institusi penegak hukum untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria itu kemudian membuat DPD RI mengambil inisiatif untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria. Pengadilan Agraria diharapkan bisa menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria dan memberikan keadilan agraria sebagaimana dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945.
Beberapa hal pokok yang menjadikan Pengadilan Agraria ini baru dan relevan untuk menyelesaikan masalah sengketa dan konflik agraria sehingga menjadi argumen yang diajukan di dalam buku ini antara lain:1 Pertama, adanya penegasan bahwa penyelesaian sengketa dan konflik agraria merupakan tuntutan pemenuhan jaminan konstitusional mengenai keadilan agraria sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Keberadaan pengadilan agraria merupakan sarana untuk memenuhi janji konstitusi agar sumber-sumber agraria bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
—————————————–
11 Lihat Bab I bagian pendahuluan untuk penjelasan lebih lanjut mengenai relevansi Pengadilan Agraria.
Kedua, secara sosiologis meluasnya konflik agraria dengan segala dampak yang ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada sekarang dalam menyelesaikan sengketa dan/atau konflik agraria. Penciptaan Pengadilan Agraria merupakan gagasan baru yang tidak berarti menghidupkan Pengadilan Landreform yang pernah dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi karena pelaksanaan program landreform pada tahun 1960-an. Pengadilan Agraria dibentuk untuk merombak struktur peradilan sehingga diharapkan pada masing-masing daerah akan ada pengadilan khusus yang dikelola oleh orang yang ahli di bidang agraria untuk menyelesaikan masalah-masalah berkaitan dengan sengketa dan konflik agraria.
Ketiga, gagasan pembentukan Pengadilan Agraria diiringi dengan paradigma baru dalam melihat konflik agraria, bukan lagi sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab masalah yang extra ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra ordinary yakni perlu adanya sebuah Pengadilan Agraria yang memiliki kekhususan dibandingkan dengan mekanisme yang sudah ada selama ini.
Keempat, kehadiran Pengadilan Agraria yang dibangun sebagai peradilan yang transparan dan kredibel akan menghadirkan penerimaan masyarakat. Hal ini memiliki korelasi dengan problem psikologis dan prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat erat kaitannya dengan akseptabilitas sosial khususnya “endangered community”. Problem psikologis ini sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian menghadapkan masyarakat yang masuk dalam “endangered community” dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan belum memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu, kehadiran sebuah institusi pengadilan dengan pendekatan baru akan memberikan harapan kepercayaan kepada masyarakat.
Sengketa hak dan sengketa kepentingan
Pengadilan Agraria dirancang untuk menyelesaikan perkara agraria, yaitu perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang tanah, hutan, air, dan tambang. Perkara agraria yang diselesaikan melalui Pengadilan Agraria adalah sengketa, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antarsubyek hukum karena adanya perselisihan mengenai hak atau kepentingan terkait penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Dalam kaitannya dengan perkara agraria, sengketa dibagi dalam dua jenis yaitu sengketa hak dan sengketa kepentingan. Penjelasan tentang kedua sengketa ini sebagai berikut:
- Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul karena adanya pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.
- Sengketa kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan dibidang sumber daya agraria antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai sumber daya agraria dalam skala besar.
Pembagian kedalam dua jenis sengketa itu menjadikan Pengadilan Agraria ini berbeda karena lembaga ini tidak saja menyelesaikan sengketa karena adanya pertentangan klaim atas sumber-sumber agraria yang umumnya bersifat individual, tetapi juga menangani sengketa kepentingan yang terjadi karena ketimpangan dan ketidakadilan agraria. Jenis sengketa kepentingan ini bersifat structural dan umumnya kolektif atau komunal yang melibatkan banyak orang. Dalam hal ini termasuk pula mengadili perampasan tanah yang dapat timbul dari pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah. Selama ini sengketa kepentingan, atau dengan kata lain konflik agraria, tidak bisa disentuh oleh lembaga peradilan yang tersedia. Dengan diterimanya kewenangan Pengadilan Agraria untuk menangani konflik agraria, maka konflik agraria yang selama tidak terselesaikan dengan baik bisa diajukan ke pengadilan agraria.
Selain itu, lingkup sengketa agraria yang diadili melalui Pengadilan Agraria adalah sengketa yang menyangkut penguasaa, pemilikan, dan pemanfaatan sumber daya alam yang meliputi bidang pertanahan, kehutanan, perairan, dan pertambangan. Empat bidang ini merupakan bidang yang sangat luas, namun penegasan lingkup yang luas tersebut bisa membantu untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang terkadang terjadi lintas sektor. Oleh karena itu, Pengadilan Agraria tidak saja dihadirkan untuk mengadili masalah tanah pertanian, tetapi juga yang berkaitan dengan kehutanan, perairan, dan pertambangan.
Aspek khusus dalam hukum acara
Pengadilan Agraria dirancang sebagai pengadilan khusus dan oleh karena itu memiliki sejumlah kekhususan. Beberapa kekhususan yang utama antara lain mengenai biaya perkara. Selama ini masyarakat enggan datang ke pengadilan selain karena mekanisme peradilan itu asing bagi mereka, juga karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk berperkara. Sehingga pengadilan agraria yang dibentuk harus bisa memberikan aksesibilitas kepada masyarakat. Salah satu mekanisme yang diatur kemudian adalah memberikan pembebasan biaya perkara, khusus untuk perkara yang nilai gugatannya dibawah dua ratus lima puluh juta rupiah.
Hukum acara dalam Pengadilan Agraria dibentuk untuk mencari keadilan materil. Hal ini berbeda dengan pengadilan Perdata yang dilakukan untuk menemukan kebenaran formil. Namun upaya mengadili dalam berperkara di Pengadilan Agraria bukanlah satu-satunya mekanisme penyelesaian. Sebelum suatu sengketa diselesaikan oleh hakim pada Pengadilan Agraria, terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak agar perkara tersebut diselesaikan melalui mediasi maupun konsiliasi. Peradilan perdata pada umunya telah menerima lembaga mediasi, namun waktu untuk mediasi dalam Pengadilan Agraria dapat diperpanjang apabila nampak itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara damai.
Aspek khusus lain yang diatur dalam hukum acara adalah diakuinya bukti-bukti tidak tertulis sebagai basis klaim masyarakat dalam sengketa dan konflik agraria. Selama ini masyarakat selalu dikalahkan karena peradilan formal mengandalkan bukti-bukti formal terutama surat dan sertipikat tanah yang seringkali tidak dimiliki oleh masyarkat. Tidak ada bukti tertulis bukan berarti masyarakat tidak memiliki tanah yang disengketakan. Oleh karena itu, alat bukti yang diperluas sampai pada bukti-bukti informal atau non-formal menjadi penting untuk mencapai kebenaran materil dalam penyelesaian sengketa dan konflik agraria.
Pada umumnya pengadilan yang bersifat perdata memberikan beban pembuktian kepada pihak yang mengajukan gugatan. Siapa yang menggugat dialah yang harus mengajukan bukti dan dalil-dalil dari gugatannya. Namun berbeda dalam pengadilan agraria, khususnya untuk sengketa kepentingan (konflik agraria), beban pembuktian bisa dikenakan kepada pihak tergugat. Dalam hal ini misalkan ketika satu kelompok masyarakat sedang mengalami sengketa kepentingan (konflik agraria) karena wilayah mereka diklaim oleh Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan, maka kelompok masyarakat itu bisa mengajukan gugatan kemudian pihak kementerian kehutanan terlebih dahulu harus memaparkan bukti secara sahih bahwa wilayah yang diklaimnya itu secara procedural telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Diterimanya pembebanan terbalik pembuktian atau dikenal pula dengan asas pembuktian terbalik merupakan terobosan hukum yang paling mendasar dalam sistem hukum Indonesia.
Memulihkan kewarganegaraan
Gagasan untuk melahirkan pengadilan agraria harus diletakan pada konteks sosial dimana permasalahan sengketa dan konflik agraria telah berlangsung semakin massif dan meluas. Negara harus hadir melakukan intervensi untuk mengatasi hal tersebut sebelum situasi lebih jauh tampil dalam bentuk keresahaan agraria yang semakin parah. Tugas pemerintah untuk menghadirkan mekanisme penyelesaian permasalahan agrarian merupakan langkah strategis untuk memenuhi jaminan keadilan sosial dan keadilan agraria yang terdapat di dalam Pancasila dan UUD 1945.
UUD 1945 telah memberikan dasar bahwa hak milik atas tanah, hak mendapatkan manfaat, penghidupan yang layak serta memperoleh manfaat dari penggunaan sumber-sumber-sumber agraria merupakan hak konstitusional warga negara. Penegasan bahwa hak atas tanah dan sumber daya agraria lainnya merupakan hak warga negara merupakan fondasi penting untuk melakukan penataan hubungan antara rakyat dan negara. Ketika hak atas tanah sumber daya agraria lainnya merupakan hak warga negara, maka secara timbal balik adalah kewajiban dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negara tersebut. Dengan demikian, negara harus mengambil langkah-langkah strategis terhadap pelanggaran hak warga negara atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya.
Inisiatif DPD RI untuk melalukan perancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria merupakan upaya untuk menghadirkan negara sebagai pihak yang memiliki tanggungjawab dalam menyelesaikan sengketa dan konflik agraria. Dalam diskursus hak asasi manusia, pembentukan pengadilan sebagai sarana untuk menegakan hak asasi manusia merupakan langkah untuk membuat hak asasi manusia menjadi dapat dibenarkan (justifiable). Pembentukan Pengadilan Agraria telah sejalan dengan semangat yang menghargai hak asasi manusia dan negara hukum yang telah disepakati sebagai sendi dari pembangunan Republik Indonesia. Melihat konteks permasalahan sengketa dan konflik agraria yang semakin mengkhawatirkan, maka pembentukan Pengadilan Agraria haruslah menjadi prioritas pemerintahan yang berkuasa.
Penyunting
Yance Arizona
BAB I
PENDAHULUAN
A, Problematika Akut Sengketa Agraria
Gagasan pendirian lembaga Pengadilan Agraria bukanlah suatu hal yang ahistoris atau muncul secara tiba-tiba, melainkan sudah ada sejak masa kolonial atau bahkan sejak masa kerajaan dan/atau kesultanan nusantara.2 Menurut catatan sejarah bahwa lembaga sejenis pengadilan agraria yang pertama kali diakui oleh Pemerintah Belanda yaitu lembaga pengadilan adat yang salah satu kompetensinya menyelesaikan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan masyarakat (individu maupun kolektif) dan antara individu/masyarakat dengan penguasa. Lembaga pengadilan tersebut sengaja dibentuk dan disediakan bagi para pencari keadilan bumi putera (in-landers) atas sumber daya agraria yang disengketakan di antara mereka. Mekanisme penyelesaian sengketa pada lembaga pengadilan tersebut diselesaikan oleh hakim lokal yang terdiri dari para pemimpin masyarakat adat, tokoh petani, maupun tokoh masyarakat sendiri dan tunduk pada sub-sistem hukum adat (het adat rechts). Model penyelesaian sengketa agraria ini dipilih karena dianggapnya lebih memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Orde Lama pernah memberlakukan program landreform secara terbatas sebagai implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya. Pada waktu itulah dibentuk Pengadilan landreform melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 yang bersifat khusus mengadili sengketa yang timbul dari pelaksanaan program landreform. Namun sayang lembaga pengadilan tersebut usianya tidak lama dan akhirnya dihapus pada tahun 1970 oleh
—————————————–
2 Lebih lanjut periksa Nur Aini Setiawan, Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat: Pola Pemilikan dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, Sains Sajogyo Institute – STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 64-133.
pemerintah Orde Baru karena dipandang menghambat program pembangunan ekonomi yang kapitalistik oligarkis.3
Era posta Orde Baru Mei 1998 yang ditandai dengan krisis multi dimensi telah melahirkan tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk tuntutan untuk menjalankan program reforma agraria untuk mengatasi ketimpangan struktur agraria dan penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Pada era ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) bersama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria mendorong dibentuknya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang secara khusus menangani konflik-konflik agraria di masa lalu. Komisi ini sebagai lembaga transisi untuk menangani konflik-konflik agraria ditengah tidak adanya peradilan agraria sementara konflik agraria terus terjadi.
Sayangnya usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) tidak mendapat respon di masa pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menolak pembentukan KNuPKA karena menganggap belum terlalu penting lembaga tersebut dan mengusulkan untuk menguatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menangani dan menyelesaikan konflik-konflik agraria di Indonesia.
Tuntutan penyelesaian konflik agraria juga berhasil masuk ke panggung politik kebijakan yang ditandai dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 9 November 2001 menghasilkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.4 Salah satu mandat yang harus dijalankan baik oleh Presiden maupun DPR RI adalah penyelesaian konflik agraria, namun sampai saat ini mandat TAP MPR tersebut belum dijalankan.
—————————————–
3 Guna memperdalam dinamika Pangadilan Landreform ini, simak buku: Aristiono Nugroho dkk., Ngadangan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreforn Lokal, STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-7; Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Landrefrom (Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959-1967), STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 85-101.
4 Periksa Pasal 4 huruf (c), Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001.
Melalui Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) No. 10 Tahun 2001, KPA mengajukan empat argumentasi mendasar mengapa Pengadilan Agraria harus didirikan yaitu:5
1. Memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas pada masa lalu;
2. Menguatkan posisi rakyat dalam hal kepemilikan tanah;
3. Memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian hak-hak yang dirampas oleh proses masa lalu;
4. Memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk untuk merekonstruksi sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.
Tuntutan pendirian Pengadilan Agraria kembali diwacanakan kepada publik pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2005 oleh beberapa kalangan masyarakat, khususnya para advokat. Mereka mensinyalir bahwa tuntutan gugatan sengketa agraria ke Pengadilan Umum telah menimbulkan banyak keluhan, tegasnya berupa rasa tidak percaya karena beberapa faktor yang melatar belakangi di antaranya: putusan pengadilan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, kinerja pelayanan sumber daya manusia (SDM) agraria yang kurang baik, serta adanya campur tangan pihak ketiga yang dapat mempengaruhi imparsialitas putusan sang hakim.
Konflik agraria hingga usia reformasi yang ke enam belas (tahun 2014) ini terus terjadi bahkan semakin marak dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang menangani konflik agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap konflik agraria. Puncak dari
—————————————–
5 Imam Koeswahyono, Gagasan Pembentukan Pengadilan Agraria (Telaah Bagi Kontribusi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria), Kertas Kerja dalm bentuk Makalah yang disampaikan dalam Forum Diskusi Komite 1 DPD RI, Gedung B, Lantai 2 DPD RI Senayan, Jakarta, 17 Juni 2013, hlm. 5-6.
semua bentuk kekerasan dalam konflik keagrariaan tersebut telah memicu jatuhnya korban jiwa dari masyarakat yang tidak berdosa.6
Tahun 2011 misalnya, jumlah konflik agraria mencapai 163 kasus dengan luas tanah yang disengketakan sekitar 472 ribu hektar dan telah mengakibatkan sekitar 69.975 KK menjadi korban; 22 orang tewas, 34 orang tertembak, 275 orang ditahan, dan 147 orang mengalami penganiayaan.7 Berbagai konflik agraria tersebut disadari telah mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses masyarakat terhadap sumbersumber agraria. Kedua, kerusakan struktur sosial masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang, dan ketiga, terjadi kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan turunan mutu manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber daya agraria. Karena itu, penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya suatu keadaan yang tidak memuaskan dan/atau tidak memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan hidup dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum petani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam adalah syarat mutlak bagi keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka. Namun, konflik agraria telah memporakporandakan syarat keberlanjutan hidup mereka. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam konflik tersebut, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan penindasan baik yang dilakukan oleh aparatur negara, perusahaanperusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain.
Kekerasan, penyingkiran, dan penindasan yang dilakukan itu tercermin dari sejumlah kebijakan publik yang tidak memihak pada
—————————————–
6 Data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam bahwa dari 1.753 kasus konflik agraria di sepanjang Tahun 1970 – 2001 telah merambah 11 juta hektar tanah dan telah mengakibatkan sekitar 1 juta kepala keluarga (KK) menjadi korban. Dari ribuan kasus ini ternyata hanya sekitar 7,6 % yang masuk pengadilan dan sebagian besar berakhir dengan kekalahan di pihak warga. Selanjutnya lihat Lampiran Keputusan DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013 tentang Rekomendasi Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI, 2013, hlm. 2-3. 7Ibid., hlm. 3.
aspirasi dan kepentingan-kepentingan korban, khususnya petani-petani kecil dan miskin yang pada umumnya menguasai tanah sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali (landless). Kelompok-kelompok petani yang menguasai tanah agak besar atau yang menguasai tanah luas sekali pun bisa saja mengalami ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh negara dan aparatnya tersebut manakala tanah-tanah hak milik atau yang berada dalam penguasaannya dialihkan haknya kepada pihak lain, dengan pengganti kerugian yang tidak memadai atau tanpa penggantian sama sekali, yang dalam hal ini kekuatan hukum dan politik termasuk kekuatan militer dan birokrasi dipergunakan secara efektif.
Komite I DPD-RI memandang bahwa berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi konflik telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Dampak lanjutannya adalah penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa yang berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya serta meluangkan waktu khusus. Pada saat hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Komite I DPD-RI memandang perlu menyusun Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria yang secara khusus akan mengatur dan menangani sengketa dan konflik agraria. Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hakhak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas sumbersumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai.
Penyusunan RUU Pengadilan Agraria telah menjadi keputusan dalam Rapat Pleno Komite I DPD-RI yang didasari berbagai pertimbangan: Pertama, banyaknya laporan dan pengaduan konflik agraria yang diterima oleh DPD RI yang tidak mendapatkan penanganan yang serius, menyeluruh dan berkeadilan. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah penanganan konflik bersifat parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada akar persoalan konflik.
Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-ordinary sehingga perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary. Disebut extra-ordinary karena konflik agraria yang bersifat struktural, dimana pihak yang berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau komunitas dengan badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah. Ketiga, salah satu rekomendasi Pansus Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI yang penting diperhatikan terkait dengan penyelesaian konflik agraria di masa mendatang adalah melakukan kajian pembentukan pengadilan khusus agraria. Hal ini, selain untuk mendapatkan kepastian hukum, keberadaan pengadilan khusus ini juga untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas sumber-sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai.
Argumen-argumen pokok perlunya pembentukan Pengadilan Agraria ini adalah: Pertama, adanya tuntutan pemenuhan prinsip fundamental kehidupan manusia yaitu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Artinya secara filosofis, DPD RI merasa berkewajiban memperjuangkan keberhasilan mewujudkan pendirian Pengadilan Agraria ini. Kedua, fakta sosiologis menunjukkan bahwa meluasnya konflik agraria dengan segala dampak yang ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada sekarang dalam menyelesaikan sengketa dan/atau konflik agraria. Realitas tersebut dapat dimaknai bahwa peran pemerintah (melalui lembaga peradilan) di masa lalu atas desakan kekuatan-kekuatan pemilik modal dalam penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria yang “timpang” itu, merupakan refleksi dari ketidak-mampuan tata kelola kehidupan bernegara yang demokratis atau jauh dari penegakan prinsip-prinsip negera yang berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Penciptaan Pengadilan Agraria tidak berarti menghidupkan kembali UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform, tetapi lebih mengacu kepada corak-corak sengketa dan model penanganannya.8 Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya dijadikan bagian dari penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya sekedar menjadi persoalan perdata, makna tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki dimensi sosial-politik-ekonomi-religius menjadi hilang. Padahal keempat ciri ini tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan tanah dan/atau sumber-sumber agraria lainnya. Konflik agraria yang saat ini terjadi dan masih terus terjadi sudah turut membantu menguak sisi gelap hubungan ketatanegaraan di Indonesia selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan Pengadilan Agraria yang independen bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sisi gelap hubungan ini.
Ketiga, pembentukan lembaga Pengadilan Agraria merupakan paradigma baru dalam melihat konflik agraria. Konflik agraria tidak lagi dianggap sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab masalah yang extra ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra ordinary yakni perlu adanya sebuah Pengadilan Agraria. Keberadaan Pengadilan Agraria ini, tidak saja untuk kepentingan kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution) namun juga memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan (conflict prevention).
Keempat, kecepatan dan ketepatan Pengadilan Agraria dalam menjawab konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historissosiologis terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Dalam hal ini, menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu yang bersifat extra ordinary
—————————————–
8 Bandingkan dengan Arya W. Wirayuda, 2011, Dari Klaim Sepihak Hingga Land Reform (Konflik Penguasaan Tanah Di Surabaya 1959-1967), STPN, Yogyakarta, hlm 89165; Aristiono dkk., 2011, Ngandangan Kontemporer; Implikasi Sosial Land Reform Lokal, STPN, Yogyakarta, hlm. 1-7.
menjadi sesuatu yang sangat penting. Namun tentu saja perlu diwaspadai jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan subtansi dari pembentukan Pengadilan Agraria ini, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial dalam bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan menghindari terjadinya Pengadilan Agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan Pengadilan Agraria, dan 2) Subtansi strategis yang direspon Pengadilan Agraria.
Berkenaan dengan poin pertama, sebenarnya memiliki korelasi dengan problem psikologis dan prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat erat kaitannya dengan akseptabilitas sosial khususnya “endangered community”. Dimana mereka adalah orang-orang yang penting untuk diajak berkomunikasi mengenai sebuah pilihan yang terbaik dalam menyelesaikan konflik agraria karena mereka adalah orang-orang yang sedang atau potensial terpapar akibat adanya konflik agraria. Problem psikologis ini sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian menghadapkan masyarakat yang masuk dalam “endangered community” dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan belum memenuhi rasa keadilan.
Oleh karena itu, adalah penting memikirkan bagaimana membangun social capital menjadi persetujuan (accord) lahirnya dan operasionalisasi Pengadilan Agraria. Problem prosedural memiliki keterkaitan dengan bagaimana strategi mengembangkan Pengadilan Agraria dengan proses dan tahapan yang bisa diterima (socially aceptable). Artinya bagaimana proses dan tahapan tersebut tidak sekedar ditentukan secara legalistik-positivistik namun proses dan tahapan yang dibangun memang kredibel.
Berkenaan dengan poin kedua, tentang substansi yang harus direspons oleh Pengadilan Agraria sangat dipengaruhi oleh bagaimana membaca konflik agraria. Idealnya, Pengadilan Agraria mampu menjadi wahana dalam menjawab problem ketimpangan struktur agraria yang diyakini memberikan kontribusi yang signifikan timbulnya kemiskinan struktural. Jadi secara yuridis konstitusional kehadiran Pengadilan Agraria adalah sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan telah diatribusikan oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-pokok Agraria.
B, Pertanyaan/Masalah Pokok (Crusiel Question)
Berangkat dari latar belakang di atas, pertanyaan pokoknya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah benar kehadiran Pengadilan Agraria merupakan tuntutan atau kebutuhan mendesak bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa dan/atau konflik yang terkait dengan sumber daya keagrariaan?
2. Mengapa RUU tentang Pengadilan Agraria perlu dibentuk?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan (berupa landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan ekologis) pembentukan RUU tentang Pengadilan Agraria?
4. Apa politik hukum yang akan diwujudkan dalam pembentukan RUU tentang Pengadilan Agraria?
C, Tujuan dan Kegunaan Pembentukan Pengadilan Agraria
Tujuan dari penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria yang kemudian dikemas menjadi buku ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk membuktikan bahwa kehadiran Pengadilan Agraria sekarang ini benar-benar sebuah keharusan (Conditio Sine Quanon) bagi para pencari keadilan dan masyarakat luas, karena konflik agraria yang tidak segera ditangani dengan benar, pasti, dan bertanggungjawab akan menjadi bahaya laten yang mengancam kebangkrutan dan keruntuhan negara.
2. Menggali dan menemukan alasan maupun argumentasi yang mendasar (sosio-yuridis-historis) tentang perlunya pembentukan RUU Pengadilan Agraria.
3. Menggali dan merumuskan landasan yang kuat, obyektif, dan argumentatif terkait dengan pembentukan RUU tentang Pengadilan Agraria dari perspektif filosofis, sosiologis, yuridis, dan ekologis.
4. Mendiskripsikan dan mensistematisasi substansi atau materi muatan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pembentukan RUU tentang Pengadilan Agraria secara komprehensif dan memenuhi kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Adapun kegunaan dari politik hukum pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria ini adalah:
1. Memberikan jaminan kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa keagrariaan melalui jalur litigasi.
2. Memberikan penguatan dan keberpihakan kepada masyarakat (terutama bagi para petani maupun pencari keadilan yang lain) dalam memperjuangkan untuk memperoleh hak-hak kepemilikan atas sumber daya agraria yang pernah dirampas maupun dikooptasi pada masa yang lalu.
3. Menciptakan rasa aman, tentram, dan penuh manfaat bagi pencari keadilan dengan hadirnya Pengadilan Agraria yang secara khusus menangani penyelesaian sengketa keagrariaan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya murah.
BAB II DISKURSUS TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA
A, Diskursus Teoretis
1, Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan Hukum Agraria
Istilah “agraria” bila dirunut dari kata asalnya, yakni ager atau agri yang berarti ladang atau sebidang tanah, dan dalam arti yang jamak bisa berarti pedusunan atau pun daerah. Bachriadi dan Wiradi9 melihat “agraria” sebagai wilayah pertanian, atau sepetak sawah yang di dalamnya terdapat tanaman, air, mineral dan pemukiman. Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggunakan istilah ”sumber-sumber Agraria” yang mempunyai arti semua bagian bumi yang mampu memberi penghidupan bagi manusia yang meliputi perut bumi, tanah, air, udara maupun tumbuhtumbuhan yang terdapat di atasnya.10 Pengertian ini menunjukkan bahwa “agraria” mengandung makna yang lebih luas dibandingkan istilah pertanahan.
Soesangobeng membedakan antara hukum pertanahan dengan hukum agraria. Hukum pertanahan merupakan ‘lex generalis’ sedangkan hukum agraria adalah ‘lex specialis’ dalam hubungan pemilikan dan pengolahan tanah. Menurutnya, hukum pertanahan memuat filosofi, asas, ajaran dan teori tentang norma-norma dasar pertumbuhan serta perolehan hak kepemilikan tanah sebagai benda yang menjadi objek harta kekayaan. Sedangkan hukum agraria, merupakan pelaksanaan norma-norma hukum pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda tidak tetap yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah baik oleh masyarakat maupun orang pribadi yang hak disebut sebagai hak agraria.11
—————————————–
9DiantoBachriadi& Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA, hal. 1.
10Lebih jauh lihat, Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999. Usulan Revisi UUPA. KPA, hal. 5.
11 Herman Soesangobeng, 2012. Folosofi, Azas, Ajaran dan Teori Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia, Jakarta , hal. 5-6.
Terkait dengan berbagai pengertian agraria tersebut di atas, maka naskah akademik ini merujuk pada pengertian agraria sebagaimana diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA disebutkan bahwa objek yang diatur oleh hukum agraria di Indonesia meliputi: “bumi, air, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas pemukaan tanah dan di dalam perut bumi”.12 Ditinjau dari wujudnya secara fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara, mineral dan energi, serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang, termasuk yang berbentuk mikro-organisme.
Seiring dengan telah dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, maka secara subtansial istilah “agraria” dan “sumber daya alam” mempunyai hubungan yang sangat erat. Sehingga pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam merupakan pekerjaan yang saling terkait dan berhubungan karena keduanya bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan.
Jika dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam bagi kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan terhadap sumber daya alam (SDA) dapat dilihat dari dua sisi, yakni: Pertama, hubungan antara kelompok sosial dengan SDA, dan hubungan antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA. Hubungan-hubungan tersebut sebenarnya adalah sifat penguasaan manusia serta pemanfaatan SDA yang dicakup dalam pengertian agraria. Dengan demikian, pengertian agraria tidak terbatas pada aspek fisik tanah dan SDA lainnya, melainkan termasuk di dalamnya aspek-aspek penguasaan manusia dan pemanfaatan atas SDA tersebut.
Kedua, hubungan yang terjadi secara alamiah antar wujud SDA yang mempunyai manfaat untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis, serta manfaat untuk menunjang proses ekologis biologis, serta manfaat untuk menunjang proses ekologis yang penting seperti pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah, imigrasi satwa,
—————————————–
12 Lihat Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.
serapan dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini terjadi dalam wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti wilayah daerah aliran sungai, wilayah habitat hewan, wilayah pesisir dan pulau kecil, dan lain-lain yang masing-masing mempunyai kondisi dan karateristik tersendiri.13
Oleh karena itu, penggunaan istilah agraria di sini lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah pola pemanfaatan SDA yang terkandung dalam tanah tersebut.14 Dengan demikian penyelesaian konflik agraria di masa mendatang haruslah memperhatikan keterkaitan dari agraria dan sumber daya alam. Konflik agraria tidak hanya selalu berkaitan dengan tata kuasa (penguasaan atas tanah), tetapi juga mencakup tata guna dan tata produksi dari tanah dan kekayaan alam atau sumber-sumber agraria.
2, Hubungan-Hubungan Agraria
Sumber-sumber agraria merupakan anugerah Tuhan YME yang fundamental dan vital untuk kelangsungan kehidupan umat manusia. Bagi rakyat Indonesia, sumber-sumber agraria mempunyai arti dan fungsi yang sangat luas, selain mempunyai fungsi ekonomi, sumber-sumber agraria juga mempunyai arti secara sosial, politik, budaya dan bahkan religius. Hal ini bermakna bahwa sumber-sumber agraria selain merupakan faktor produksi secara ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang utama. Karena itu, penguasaan atas sumber-sumber agraria akan berimplikasi pada akumulasi kekuasaan yang lebih luas, baik ranah fisik maupun sosial. Penguasaan atas sumber-sumber agraria bukan hanya membentuk aset, tetapi menjadi dasar perolehan kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.15
—————————————–
13 KSPA, Pokja PSDA dan KPA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan: Argumen-argumen dan usulan Ketetapan MPR RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, hal. 3
14Ibid, hal. 5.
15Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005, Reforma Agraria; Prasyarat Utama bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. hal. 3.
Hal ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai hubungan-hubungan agraria yang kompleks. Menurut Wiradi, dalam masyarakat agraris selalu ditandai dengan hubungan pokok antara mereka yang mencurahkan tenaganya untuk berproduksi dengan mereka yang tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim sebagian dari hasil produksi tersebut baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar penguasaan mereka terhadap berbagai macam sarana atau alat produksi.16 Dalam hal ini, salah satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam hubungan-hubungan agraria yang berlangsung adalah penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria, khususnya tanah.
Kompleksitas hubungan-hubungan agraria (khususnya penguasaan dan pemanfaatan tanah) karena bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah, melainkan juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah hanya akan bermakna jika terjadi proses aktivitas atau kerja dalam bentuk kegiatan penggarapan dan penguasaan lahan. Dalam proses produksi inilah akan melahirkan hubungan-hubungan lain antara manusia dengan manusia, misalnya hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap, antara penyakap dan buruh tani, antara sesama buruh tani, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, terdapat dua jenis hubungan dalam hubungan manusia menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, yaitu: Pertama, hubungan teknis pengelolaan sumber-sumber agraria melalui aktivitas produksi. Kedua, hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi sumber-sumber agraria. Hubungan pertama disebut hubungan teknis agraria sedang yang kedua disebut hubungan sosial agraria.17
Dari hubungan-hubungan agraria di atas kemudian muncul pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari orang-orang atau kelompok orang yang terlibat di dalamnya. Adanya hak dan kewajiban inilah yang
—————————————–
16 Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, hal. 22 17Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005 ibid, hal. 4. Pandangan keduanya didasarkan atas pendapat (Sitorus 2002)
kemudian menciptakan hukum agraria sebagai pengaturan mengenai hubungan antar subjek hukum dengan keberadaan tanah, perairan, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi dalam suatu wilayah tertentu.
Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk menciptakan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah, perairan, udara, ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi. Lebih jauh lagi, karena di dalam pengaturan ini melibatkan orang-orang dalam suatu struktur tertentu, maka hukum agraria merupakan upaya mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
3, Struktur Agraria
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah agraria sangatlah kompleks, yakni hubungan antara subyek-subyek agraria dengan sumber–sumber agraria baik secara teknis maupun secara sosial. Kompleksitas hubungan inilah yang membentuk sebuah struktur agraria. Oleh karena itu, strutkur agraria dapat digambarkan sebagai hubungan segitiga antara subyek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang berpusat pada obyek agraria (tanah, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).
Suatu struktur agraria sesungguhnya menggambarkan hubungan yang terbangun dari bentuk-bentuk penguasaan dan pemilikan tanah. Menurut Cohen,18 secara umum ada dua kelompok besar di dalam masyarakat agraris, yaitu : Pertama, sekelompok kecil tuan-tuan tanah dan petani besar, dan kedua adalah sekelompok besar petani penyakap, petani kecil dan buruh tani tak bertanah. Menurutnya, hubungan diantara kelompok-kelompok ini menjadi penentu utama dari berbagai sikap petani terhadap pembaruan agraria dan sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya suatu program pembaruan.19
—————————————–
18S. I. Cohen, 1978. Agrarian Structure and Agrarian Reform. Martinus Nijhoff Social Sciences Division. Leiden/Boston, hal. 17-19.
19 Lihat KPA, Konsep Pembaruan Agraria; Sebuah Strategi Pembangunan yang Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat. Hal. 23.
Cohen menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur agraria dalam pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe, yakni : 1) Tipe komunal Afrika. 2) Tipe penguasaan Asia, 3) Tipe penguasaan tanah Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan. Tipe komunal Afrika terdapat kelompok-kelompok kesukuan di Afrika, dimana tanah merupakan penguasaan bersama (common property) dan akses kepada tanah relatif tidak dibatasi. Pada tipe Asia, dasar utamanya adalah pemilik-penggarap, penyewa-penggarap, dan petani penyakap bagi hasil.
Pada tipe Amerika Latin, meskipun terdapat pemilik-penggarap, penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan yang disebut sebagai “latifindio” sangat dominan. Latifindio merupakan unit penguasaan tanah secara politik, pemilikannya bersifat guntai dan dikelola pegawaipegawai yang digaji serta digarap oleh petani yang berstatus semi-hamba. Sedangkan pada tipe perkebunan, merupakan pemilikan tanah dalam skala luas yang dimiliki oleh pengusaha swasta baik asing maupun domestik. Penggunaan tanahnya bersifat intensif dan monokultur serta diproduksi untuk komersial dan umumnya untuk kepentingan ekspor.20
Empat tipe ini meskipun masih banyak bertahan, tetapi mulai banyak berubah karena adanya perubahan struktural akibat pembangunan. Kini muncul bentuk-bentuk baru dari penguasaan tanah, yakni tipe pertanian kapitalis modern yang tersebar luas. Tipe pertanian kapitalis modern ini luas penguasaan tanahnya beragam. Pertanian ini dikerjakan secara intensif untuk kepentingan komersial dan dikerjakan oleh tenaga kerja bayaran. Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan pertanian negara.21
Struktur agraria yang digambarkan di atas secara konseptual, mengandung baik potensi konflik maupun kerjasama. Kerjasama akan terjadi apabila para subjek agraria bersedia dan mampu merumuskan suatu kesepakatan perihal kepentingan dan klaim yang berbeda-beda menyangkut akses terhadap objek agraria. Kemungkinan sebaliknya, konflik agraria yang akan terjadi apabila terdapat benturan kepentingan
—————————————–
20S.I.Cohen, Loc. Cit. 21S.I. Cohen, Ibid, hal. 17-19.
intra dan antar subyek agraria ataupun tumpang tindih klaim akses terhadap obyek agraria. Namun fakta empiris menunjukkan bahwa hubungan-hubungan agraria intra dan antar subyek agraria cenderung diwarnai gejala konflik agraria, baik yang bersifat laten maupun yang bersifat manifes.
4, Konflik Agraria
Kata “konflik” mempunyai makna lebih luas ketimbang kata “sengketa”. Kata “sengketa” memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak yang nyata antara satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya diselesaikan lewat jalur-jalur yang disediakan secara hukum. Sementara konflik agraria didefinisikan sebagai perbedaan atau pertentangan orang atau komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah dan sumber daya alam.22
Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik agraria adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masingmasing pihak memperjuangkan kepentingannya atas objek agraria. Sebelum berubah menjadi konflik agraria, terlebih dahulu terjadi “persaingan” untuk memperoleh suatu objek agraria tersebut. Dari persaingan berubah menjadi konflik pada saat masing-masing pihak berupaya untuk menghilangkan atau menghalangi secara terbuka untuk menguasai atau memanfaatkan objek agraria. Jadi, konflik pada dasarnya adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.23
Dalam Naskah Akademik KNuPKA24, konflik agraria didefinisikan sebagai pertentangan klaim antar satu pihak atau lebih mengenai penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya
—————————————–
22 Ibid, hal. 7.
23Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. KPA, Insist Press, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hal. 85.
24KNuPKA adalah Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, yaitu suatu komisi yang diusulkan oleh Komnas HAM pada tahun 1999 untuk mengatasi konflik agraria struktural kepada Presiden SBY, namun oleh Presiden SBY menolak untuk membentuk komisi tersebut dan merekomendasikan untuk memperkuat Badan Pertanahan Nasional.
alam lain yang menyertainya.25 Situasi ini disebut konflik karena klaim itu ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini berpendirian bahwa upaya-upaya penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria ini harus didudukkan sebagai bagian dari cara untuk menata ulang distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan istilah sengketa pertanahan, konflik pertanahan dan perkara pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosiopolitis. Sementara itu, konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis. Kemudian yang terakhir, yaitu perkara pertanahan yang selanjutnya disingkat perkara adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN Republik Indonesia.26
Di kalangan pegiat dan aktivis agraria, menggunakan istilah “konflik agraria struktural” untuk menamai dinamika konflik agraria yang sedang terjadi dewasa ini. Penggunaan istilah “konflik agraria struktural” ini untuk menjelaskan konflik agraria yang melibatkan penduduk setempat atau kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara.27 Menurut Noer Fauzi, konflik agraria struktural adalah pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan
—————————————–
25 Perlu dicatat bahwa istilah ‘sengketa’ lebih popular digunakan oleh peraturan perundangan, ketimbang istilah ‘konflik’. Sayangnya, kendati sering digunakan, kecuali UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak satupun Undang-undang yang mendefenisikan istilah ‘sengketa’. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menggunakan istilah ‘perkara’ (lihat pasal 89 ayat (4)). 26 Lebih jauh lihat, Peraturan Kepala BPN-RINo. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
27 Lihat Naskah Akademik Usulan Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2003. Juga tulisan Noer Fauzi Rachman, 2011, Pengantar dalam Mulyani, Lilis, dkk (2011) Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan : Analisis Hukum dan Kelembagaan. Jakarta : PMB LIPI dan PT Gading Inti Prima.
rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain.28
Menurut Dietz (1998), gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini berakar pada pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut: 1) siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya; 2) siapa yang berhak memanfaatkan sumbersumber agraria dan kekayaan alam, dan 3) siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.
Sehingga dalam rumusan lainnya dapat dikatakan bahwa gejala konflik agraria pada dasarnya mencerminkan pertentangan klaim mengenai: siapakah yang dapat memiliki, menggunakan, dan mengelola, serta siapakah yang mengontrol akses atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam dan siapakah yang memperoleh manfaatnya. Sejauh mana skala kedalaman dan keluasan konflik-konflik yang mengemuka pada dasarnya cerminan dari seberapa akut problem struktural dalam hubungan-hubungan agraria menyangkut pertentangan klaim atas sumbersumber agraria ini.
B, Diskursus Empiris
Ilustrasi teoritis yang telah digambarkan di atas bahwa sepanjang sejarahnya sumber-sumber agraria selalu menjadi permasalahan karena kedudukannya bukan hanya sebagai faktor produksi penting bagi kehidupan umat manusia, tetapi juga mempunyai makna sosial, politik, budaya dan religius. Penguasaan atas sumber-sumber agraria ini kemudian melahirkan hubungan dan struktur agraria. Dalam praktiknya konflik agraria terjadi karena pada dasarnya terbangun suatu hubunganhubungan agraria dan struktur agraria yang timpang dan tidak adil. Ketiadaan mekanisme penyelesaian yang memberi kepastian hukum serta
—————————————–
28Lihat artikel (Opini) Noer Fauzi Rahman dan Rahma Mary, Media Indonesia, 2011.
rasa keadilan bagi pihak yang berkonflik, maka tercipta berbagai persoalan, diantaranya:
1, Potret Konflik dan Sengketa Agraria Yang Semakin Meluas
Menurut Sumardjono, permasalahan agraria atau pertanahan secara garis besar dikelompokkan menjadi empat bagian, yakni: 1) masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, dan lainlain, 2) masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform, 3) masalah karena ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk pembangunan, dan 4) sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.29
Ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik agraria mengakibatkan konflik agraria terus mengalami peningkatan. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh Resource Center KPA30 hingga tahun 2001, telah melakukan perekaman atas 1.753 kasus konflik agraria31 yang sifatnya struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat di satu pihak yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara.
Seluruh kasus yang terekam tersebut tersebar di 2.834 desa/kelurahan32 dan 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota
—————————————–
29 Maria S.W. Sumardjono, 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Cetakan vi,
30 KPA mengembangkan sistem inventarisasi data mengenai kasus sengketa agraria yang terjadi di Indonesia lewat program Data Base Sengketa Agraria–KPA. Sistem ini dikembangkan sebagai bagian kerjasama KPA dengan dari proyek penelitian “LandTenureand Law in Indonesia: Implications for Livelihood, Community and Environment” yang dilakukan oleh Dr. Carol Warren (MurdochUniversity, Perth) dan Dr. Anton Lucas (FlindersUniversity, Adelaide). Data untuk kasus sengketa yang diinvetarisir bersumber dari: kliping sejumlah media massa nasional, khususnya, yang terbit sejak tahun 1972 dan beberapa media massa lokal (berdasarkan ketersediaannya di Sekretariat BP-KPA), laporan-laporan investigasi yang dilakukan sejumlah anggota KPA, kronologi-kronologi sengketa yang dikirim oleh masyarakat atau anggota KPA ke Sekretariat BP-KPA, serta laporan-laporan dan hasil studi terhadap sengketa agraria yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, monograf, dan sebagainya.
31 Semua angka ini dan angka-angka yang menyertainya dapat dikatakan sebagai angka minimal yang dapat diinventarisir oleh KPA. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan metodologi pengumpulan data yang ada, tidak semua kasus sengketa/konflik yang terjadi di Indonesia dapat terliput. Meskipun demikian, data-data ini dapatlah dijadikan sebuah gambaran mengenai pola-pola konflik agraria yang terjadi di Indonesia selama masa Orde Baru hingga sekarang.
32 Data ini merupakan angka minimal, karena banyak kasus-kasus yang terekam tidak dapat diidentifikasi nama desa/kelurahan di mana warganya terlibat dalam konflik.
(lihat Tabel-1). Rentang waktu kasus-kasus tersebut mengemuka ke permukaan adalah sejak tahun 1970 hingga 2001. Dari kasus-kasus itu tercakup luas tanah yang dipersengketakan yang jumlahnya tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1.189.482 KK menjadi korban.
Dilihat dari adanya kebijakan publik yang menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus sengketa dan/atau konflik tersebut, konflik yang paling tinggi intensitasnya adalah yang terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar (344 kasus). Selanjutnya secara berturut-turut adalah kasus-kasus yang terjadi akibat adanya kebijakan publik yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (232 kasus), pengembangan kawasan kehutanan produksi (141 kasus), pembangunan kawasan industri dan pabrik (115 kasus), pembangunan bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), pembangunan sarana wisata (tourism, hotelsandresorts (73 kasus), pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus) dan pembangunan sarana militer (47 kasus).
Sampai saat ini, sejumlah konflik yang direkam oleh KPA belum mendapatkan penyelesaian yang memadai,bahkan dalam perkembangannya konflik-konflik agraria terus terjadi dalam eskalasi yang semakin meluas. Dalam tiga tahun terakhir, 2010-2012, telah terjadi lonjakan konflik agraria di Indonesia. Dalam laporan akhir tahunnya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut mencatat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia pada 2010 dan di tahun 2011 meningkat menjadi 163 konflik agraria. Sedangkan sepanjang tahun 2012 KPA mencatat 198 konflik agraria terjadi di Indonesia. Luasan areal konflik pada tahun 2012 ini mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik-konflik yang terjadi. Diagram berikut ini memperlihatkan sebaran kasus konflik agraria di Indonesia yang terjadi antara 2010-2012 berdasarkan laporan KPA.

Sumber: Laporan Tahunan KPA 2010-2012
Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45%); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30 %); 21 kasus di sektor pertambangan (11 %); 20 kasus di sektor kehutanan (4%); 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (KPA, 2012). Pada diagram berikut dapat dilihat sebaran kasus-kasus konflik agraria sepanjang tahun 2010-2012 berdasarkan sektor.

Sumber: Laporan Tahunan KPA 2010-2012
Laporan KPA tidak jauh berbeda dengan yang dikeluarkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) yang mencatat sepanjang tahun 2011 total luasan lahan yang disengketakan mencapai 342.360 hektar dengan melibatkan 68.472 KK atau 273.888 orang tergusur dari tanahnya. Menurut SPI, dari total 144 kasus, 103 di antaranya adalah kasus lama yang terus terjadi di lapangan dan tak kunjung terselesaikan. Sebagian besar merupakan konflik tanah antara petani dan masyarakat adat dengan negara atau perusahaan. Sedangkan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). Konflik agraria ini melibatkan perusahaanperusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah khususnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 kasus di seluruh Indonesia.
Meskipun memberikan angka jumlah konflik yang berbeda-beda, semua lembaga yang disebut di atas juga mencatat bahwa hampir di setiap konflik terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer, selain keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari tuntutantuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai dengan fungsinya dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut hak atas tanah kemudian menjadi sasaran kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Sementara lembaga pemerintah seperti BPN maupun lembaga negara seperti Komnas HAM memiliki catatan mengenai jumlah konflik yang lain lagi. BPN misalnya mencatat ada sekitar 2.810 kasus sengketa pertanahan yang mereka tangani di seluruh Indonesia. Sementara Komnas HAM dalam pernyataannya di akhir tahun 2012 menyatakan dari 5.422 berkas pengaduan yang diterimanya sepanjang Januari hingga November 2012, pengaduan terbanyak terkait dengan isu sengketa hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya, yaitu sebanyak 1.064 berkas. Sengketa hak tersebut sebagian besar berakar pada tumpang-tindih hak yang mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan yang juga tumpang-tindih (Komnas HAM 2012).
Konflik agraria atau SDA semakin parah. Ketidakjelasan tata ruang termasuk penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang seakanmembiarkan konflik, semakin memperburuk keadaan.Perusahaanperusahaan masuk ke wilayah-wilayah berpenghuni milik masyarakat adat atau lokal. Konflik antar warga, warga-perusahaan, warga-pemerintahpun muncul. Masyarakat menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi.33
Gesekan-gesekan berujung konflik pun terjadi. Sederet konflik SDA menyebabkan kerugian harta dan jiwa terjadi hingga penutup tahun ini. Data Walhi, menyebutkan, pada 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria, 4302 kasus dinyatakan telah selesai. Paling banyak konflik terjadi di Sumatera Barat 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780, Jawa Barat 749, Jawa Tengah 532, Bali 515, Jawa Timur 400, Nusa Tenggara Timur 335, Sumatera Utara 331, Banten, 324, dan Kalimantan Timur 242 kasus.34Sementara, selama Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD bekerja, telah disampaikan sebanyak 83 Kasus, yang terdiri dari:


—————————————–
33http://www.mongabay.co.id/2012/12/27/kaliedoskop-konflikagraria-2012-potret-pengabaian-suara-dan-hak-rakyat-bagian-2/#ixzz2OcKYZsLo. Lihat juga Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah.
34 Lihat, Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah.
Maraknya konflik agraria memperlihatkan keadaan masyarakat yang selama ini mengalami ketiadaan akses bagi pemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Sebenarnya, persoalan agraria di Indonesia berupa kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh rakyat yang demikian sempit dan timpang bukan hal baru. Bahkan, sejak awal abad XX pemerintah Belanda menyadari hal ini melalui survei yang dilakukan tahun 1903. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir separuh petani menguasai lahan kurang 0.50 hektar.35
Kondisi ini bahkan tidak banyak mengalami perubahan setelah kemerdekaan. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 37,7 juta rumah tangga petani terdapat sekitar 36% yang dikategorikan sebagai “absolute-landless”. Sedangkan rata-rata penguasaan tanah oleh 24,3 juta rumah tangga petani yang dapat menguasai tanah adalah 0,89 hektar per rumah tangga.36
2, In-efektivitas Lembaga Peradilan dalam Menyelesaikan Konflik Agraria
Menurut peraturan perundangan-undangan, penyelesaian sengketa/konflik agraria dapat ditempuh melalui dua cara, yakni: [1] melalui pengadilan; dan [2] di luar pengadilan (Pasal 74 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 30 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, Pasal 88 ayat (2) UU No. 7 Tahun
—————————————–
35 Jurnal Litbang Pertanian, Edisi April 2002. Hal, 133
36 Lihat, DiantoBacriadi dan Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, KPA, ARC dan Bina Desa; Jakarta, hal. 18.
2004 tentang Sumber Daya Air). Sedangkan mengenai tugas, asas, jenisjenis dan kompetensi peradilan telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang membagi peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam: lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.37
Di samping itu pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Artinya, pengadilan khusus tersebut dapat dibentuk pada lingkungan peradilan umum atau peradilan agama, atau peradilan militer atau peradilan tata usaha negara. Belakangan terdapat sejumlah pengadilan khusus seperti didirikannya pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan pajak dan pengadilan tindak pidana korupsi. Bahkan dibentuk pula peradilan ad hoc semacam peradilan ad hoc HAM dan (rencana) peradilan ad hoc tindak pidana illegal logging.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa sejauh ini terlihat lebih banyak sengketa yang tidak terselesaikan ketimbang yang diselesaikan. Disamping itu, terdapat fakta bahwa penyelesaian konflik agraria melalui pengadilan sangat jarang dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya rasa apriori masyarakat terhadap pengadilan karena selama ini tidak menjamin rasa keadilan mereka. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, terlihat pemihakan pengadilan bukanlah kepada rasa keadilan, tetapi lebih kepada kekuasaan dan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi terhadap lahan-lahan yang disengketakan.38
Salah satu alasan mengapa rakyat tidak memilih lembaga peradilan umum dalam menyelesaikan konflik tanah mereka, karena selama ini lembaga peradilan sangat jarang mengadili perkara konflik atau sengketa agraria. Umumnya yang terjadi adalah proses pengadilan terhadap
—————————————–
37 Selain peradilan umum dan khusus, yang seluruhnya berada dalam pengawasan Mahkamah Agung, dikenal juga Mahkamah Konsitusi sebagai badan peradilan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
38 Mengenai hal ini lihat misalnya: Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo (1997), Dua Kado Hakim Agung buat KedungOmbo: Tinjauan Putusan-putusan Mahkamah Agung tentang Kasus KedungOmbo, Jakarta: Elsam; Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen; dan DiantoBachriadi dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
tindakan-tindakan masyarakat yang dianggap sebagai tindakan kriminal ketika mereka berusaha mempertahankan hak atau klaimnya. Penyebabnya adalah aparat keamanan menganggap upaya masyarakat mempertahankan hak-haknya sebagai tindakan yang melanggar hukum, dan sebaliknya tindakan pihak-pihak yang menyerobot tanah-tanah rakyat sebagai sesuatu yang sah menurut hukum.
Manakala kasus-kasus yang dianggap sebagai tindakan kriminal ini dibawa ke pengadilan, biasanya anggota masyarakat yang dituduh melakukan tindakan kriminal tersebut akan mengemukakan klaimnya (haknya) atas tanah yang disengketakan, atau kemudian melakukan gugatan perdata kepada pihak yang dianggap menyerobot hak-hak mereka. Tetapi dari beberapa studi yang pernah dilakukan, maupun dari laporanlaporan yang disampaikan ke publik oleh masyarakat maupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), pada umumnya hakim-hakim di pengadilan akan lebih banyak berpegang pada hal-hal yang bersifat formal, khususnya dalam melakukan proses pembuktian terhadap klaim-klaim yang dikemukakan oleh kedua belah pihak. Sehingga pihak rakyat biasanya akan kalah karena pada umumnya bukti-bukti pemilikan atau penguasaan mereka atas tanah-tanah atau sumber-sumber agraria yang disengketakan lemah jika dilihat dari sudut hukum formal.
Kasus yang sangat mencolok yang dapat dikemukakan sebagai contoh adalah Kasus Cimacan (pembangunan lapangan golf). Terlepas dari segala isu soal suap yang diterima oleh majelis hakim, putusan yang diambil oleh majelis hakim pada waktu itu sangat mengesankan mereka tidak mau melihat sejarah dari keberadaan tanah tersebut hingga bisa berada di tangan rakyat dan alasan-alasan mengapa mereka menolak pembangunan lapangan golf, di samping majelis hakim itu sendiri tidak seksama memperhatikan kelemahan bukti-bukti dan kesaksian yang disampaikan oleh pihak pengusaha.39 Ini menunjukan bahwa hakim-hakim pada pengadilan umum lemah dalam segi penguasaan terhadap masalah
—————————————–
39 Untuk jelasnya mengenai kasus ini lihat Bachriadi dan Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan.
masalah agraria dan lemah pengalamannya dalam hal penyelesaian sengketa agraria yang dapat memenuhi rasa keadillan masyarakat.40
Mengacu pada kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga peradilan umum yang “diserahi” tugas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa itu tidak menunjukan kinerja yang baik sebagai sebuah institusi yang bertugas dan berwenang untuk menjadi penentu bagi keberlanjutan atau terputus atau berpindahnya hubungan yang terjalin antara pihak-pihak yang bersegketa dengan tanah yang disengketakan.
Akibatnya banyak masyarakat yang menggunakan jalur nonlitagasi ketimbang pengadilan dalam menyelesaikan kasusnya. Hal ini terlihat dengan peningkatan sejumlah pengaduan ke lembaga-lembaga nonlitagasi, seperti Komnas HAM dan DPR yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa, dan terus maraknya aksi-aksi unjuk rasa menuntu penyelesaian konflik agraria.
Dalam setiap persoalan sengketa agraria tampak ada “keengganan” dan “ketidakmampuan” dari lembaga peradilan yang ada sekarang untuk memasuki wilayah analisa perkara yang lebih besar yang terjalin dalam hubungan sebab-akibat dengan persoalan awal yang diajukan ke meja pengadilan. Karena wilayah-wilayah analisis perkara itu bisa jadi akan masuk ke dalam dimensi-dimensi lain dari hubungan manusia/masyarakat dengan tanah atau sumber-sumber agraria lainnya, yaitu dimensi politik atau dimensi religius. Padahal jika menengok kepada sejumlah kasus-kasus sengketa agraria yang muncul, nyaris tidak ada yang lepas dari persoalan politik itu.41
Sementara di sisi lain, ketika ada satu-dua proses pengadilan sengketa agraria yang secara langsung masuk ke dalam substansi persoalan sengketa agraria itu sendiri, muncul persoalan lain yang juga memelorotkan wibawa lembaga peradilan yang ada sekarang. Persoalannya adalah ketidakberdayaan lembaga peradilan tertinggi – dalam hal ini MA – untuk menjalankan fungsinya melahirkan putusan-putusan hukum yang memenangkan rakyat yang bersengketa (bukan pihak lawannya) untuk
—————————————–
40 Lihat Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen.
41 Ibid, hal. 17.
sebuah keadilan yang wilayah-wilayah keputusan tersebut berada di dalam wilayah-wilayah politik.
Dengan kata lain, lembaga peradilan yang ada sekarang ketika sudah memasuki wilayah substansi sengketa agraria itu sendiri dan dengan sendirinya sudah masuk ke dalam dimensi politik dari persoalan-persoalan agraria tidak memiliki keberanian untuk independen dan melahirkan keputusan akhir yang mengalahkan entitas politik yang lebih berkuasa (powerful) yang sedang bersengketa dengan rakyat demi sebuah keadilan yang memang sudah semestinya.
3, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Pengadilan Agraria
Konflik agraria yang meluas dengan segala dimensi dan implikasinya, menunjukkan kelemahan komitmen politik pemerintah dalam melakukan perombakan struktur agraria yang timpang dan tidak adil. Di sisi lain, berbagai kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada tersebut perlu dicarikan solusi untuk menyelesaikan konflik agraria yang muncul secara adil dan mementingkan aspirasi rakyat kecil.
Dasar pemikiran penyelesaian sengketa pertanahan secara perdata adalah bahwa tanah sebagai objek hukum merupakan barang tidak bergerak yang secara khusus sudah diatur dalam UUPA beserta peraturan pelaksanaannya. Proses penyelesaian perkara di pengadilan bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang telah dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula. Sehingga dengan adanya hukum acara perdata orang dapat memulihkan haknya yang telah dirugikan melalui pengadilan sehingga diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat (Elsa;258-259)
Salah satu persoalan yang penting kita cermati dalam sengketa pertanahan melalui peradilan umum saat ini adalah bahwa sengketa pengadilan masih tetap menggunakan hukum acara perdata HIR (Herziene Inladsch Reglement, untuk daerah Jawa-Madura) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten, untuk luar Jawa-Madura (RBg) secara murni, padahal sejak diundangkannya UUPA, tanah bukan lagi objek hukum perdata. Sebagaimana diketahui bahwa sejak berlakunya UUPA, segala ketentuan mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam buku II KUHPerdata dicabut kecuali kententuan mengenai hipotik. Sehingga secara prinsipil, KUHPerdata berubah total hanya mengatur masalah barang yang bergerak. Perubahan ini tentu mempunyai makna yang luas karena dua ketentuan ini sangat berbeda secara prinsipil. UUPA bersumber pada hukum adat, sementara KUHPerdata berpaham barat, UUPA memberikan Hak menguasai Negara kepada negara dan memberikan hak atas tanah kepada orang, sementara KUHPerdata mengatur pemberian hak kepada orang dengan hak eigendom, hak erfpacht, dan hak opstal terhadap tanah dengan dasar kewenangan negara adalah Hak Domein.
Pembentukan lembaga pengadilan agraria tidak berarti menghidupkan kembali UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform, tetapi lebih mengacu kepada corak-corak sengketa dan model penanganannya. Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya dijadikan bagian dari penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya sekedar menjadi persoalan perdata.Makna tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki dimensi sosial-politik-ekonomi-religius menjadi hilang. Padahal keempat ciri ini tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan tanah dan/atau sumbersumber agraria lainnya.
Sengketa-sengketa agraria yang saat ini terjadi dan masih terus terjadi sudah turut membantu menguak sisi gelap hubungan ketatanegaraan di Indonesia selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan lembaga peradilan agraria yang independen bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sisi gelap hubungan tertsebut.
Jadi, sesungguhnya agenda menegakkan Peradilan Agraria yang independen bukan hanya sebuah agenda untuk menyelesaikan persoalanpersoalan sengketa agraria dengan cara yang lebih adil dan beradab, tetapi juga merupakan bagian dari agenda untuk menciptakan perubahan sistem dan kultur politik di Indonesia yang dicengkeram oleh kekuasaan otoritarian lembaga eksekutif. Dengan kata lain, agenda yang lebih besar dari menegakkan lembaga Peradilan Agraria yang independen adalah bagian penting dalam menegakkan kehidupan demokrasi yang bersumber dari kepentingan rakyat di Indonesia.
BAB III SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundangundangan yang ada, untuk menghindari terjadinya tumpang- tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan UndangUndang Pengadilan Agraria.
Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini dikaji dan dipaparkan beberapa substansi materi regulasi, baik yang termaktub dalam UUD NRI 1945 maupun dalam undang-undang yang berkaitan atau beririsan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria. Dengan demikian akan diketahui materi muatan mana yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, sehingga menjadi penting dan tidak berbenturan jika materi muatan yang belum diatur tersebut, menjadi muatan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria.
A, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 , Pemerintah Negara Indonesia dibentuk dengan tujuan “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Manifestasi yang sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari tujuan negara dan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum dalam pasal-pasal UUD NRI 1945.
Norma hukum yang ada dalam ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945, yang dapat dijadikan landasan konstitusional dan sekaligus sebagai harmonisasi vertikal dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria adalah :
- Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum.
- 2. Pasal 24: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.**) (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***) (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
- Pasal 24A ayat (5) : Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
- Pasal 25 “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”.
- Pasal 27 ayat (1) : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
- Pasal 28A : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.**)
- Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.**)
- Pasal 28G ayat (1) : Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)
- Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4) (1) ……. (2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.**) (3) …… (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.**)
- Pasal 28-I ayat (1) : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.**)
- Pasal 33 ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
B, TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pada tahun 2001, MPR melalui Sidang Tahunan pada tanggal 9 November 2001 menetapkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.42 TAP MPR ini adalah hasil dari perjuangan yang terus-menerus pasca dari para pegiat agraria yang menginginkan terlaksananya reforma agraria di Indonesia.
Ia dianggap titik puncak produk peraturan perundangan di bawah konstitusi yang diharapkan dapat mendorong percepatan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Selain sebagai payung hukum pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, ketetapan MPR ini juga berarti sebuah konsensus nasional Bangsa Indonesia menuju perombakan struktur agraria yang timpang dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam. MPR mengakui bahwa kebijakan dan praktik pemilikan, penguasaan, pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru menimbulkan degradasi lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, menimbulkan berbagai konflik, serta adanya tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan agraria dengan sumber daya alam. Sebagai sebuah produk hukum, TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 memberi arah yang jelas baik dari sisi paradigmatik maupun substantif mengenai kemana seharusnya politik hukum dan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ke depan.
Kedudukan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dalam struktur peraturan perundang-undangan Indonesia secara tegas dinyatakan masih berlaku melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, dimana dalam salah satu klausulnya menyatakan bahwa TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 masuk katagori TAP MPR yang masih tetap berlaku sampai terlaksananya semua ketentuan
—————————————–
42 Adapun Lahirnya Tap MPR No. IX/MPR/2001 didasarkan pada: (a) Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25E, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. V/MPR/2001; dan (d) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
dalam ketetapan tersebut (Pasal 4 angka 11). Tetapi TAP MPR tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR kembali ada dalam tata urutan perundangundangan.
Selama ditetapkan, TAP MPR ini belum pernah benar-benar dilaksanakan. Konflik agraria, sektoralisme, tumpang tindih perundangundangan dibidang sumber daya alam, dan kebijakan yang pro kapital menghiasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Penempatan TAP MPR kembali kedalam tata urutan perundang-undangan membawa harapan baru bagi dilaksanakannya implementasi TAP MPR dimasa datang.
Lahirnya Tap MPR No. IX/MPR/2001 ini lebih didorong adanya kesadaran bahwa:43
a. sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumberdaya alam.
c. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
d. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
—————————————–
43 Lihat Diktum Pertimbangan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001.
e. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
f. untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
Materi pengaturan yang terkandung dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, adalah sebagai berikut:
a. Pasal 1: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.
b. Pasal 2: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Pasal 3: Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
d. Pasal 4: Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.
e. Pasal 5: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
f. Pasal 6:
(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.
(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
a. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
g. Pasal 7: Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti. h. Pasal 8: Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
C, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
1, Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya (termasuk perekonomiannya), masih bercorak agraria, maka bumi, air dan ruang angkasa, yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang dicita-citakan. Oleh karenanya hukum Agraria yang berlaku pada jaman penjajahan, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari tercapainya cita-cita diatas. Hal ini disebabkan terutama:
a. karena hukum agraria yang berlaku pada zaman penjajahan sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional pada saat itu;
b. karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan, maka hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal ini selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit (pada saat itu), juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. karena bagi rakyat asli, hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan tersebut di atas, perlu ada hukum agraria baru yang bersifat nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sebelumnya, yang tidak lagi bersifat dualisme, tetapi yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang dirumuskan tersebut diharapkan akan memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluan menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Selain itu, hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada asas kerokhanian, negara dan cita-cita bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Undang-undang ini sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria, di dalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karena itu disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang pelaksanaan lebih lanjut diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Pokok Agraria disusun dengan tujuan:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum pertanahan. c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
2, Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional
Undang-Undang Pokok Agraria sebagai peraturan dasar yang mengatur mengenai penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan sumbersumber agraria berisi sejumlah dasar-dasar politik hukum berikut.
a. Dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat (1), yang menyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” dan Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Hal ini berarti bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia. Jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samatamata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian, hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Hal ini berarti selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (Pasal 4 jo.Pasal 20). Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (Pasal 4 jo Pasal 16).
b. Mengganti asas domein warisan kolonial. Asas domein yang dipergunakan sebagai dasar dari perundang-undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru.Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan modern.Berhubung dengan ini asas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai “pernyataan domein”, yaitu misalnya dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataanpernyataan domein itu dicabut kembali.
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi:
1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
2) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)).
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu.Artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II.
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak gunabangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masingmasing (Pasal 2 ayat (4)). Kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuankesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.
c. Pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyaakat hukum adat. Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 maka didalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan: “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi dalam undang-undang, dengan akibat bahwa dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Penyebutan hak ulayat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak gunausaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha. Sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyekproyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari ketentuan Pasal 3 di atas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas. Tidaklah dapat dibenarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam Pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usahausaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian di atas, tidak berartibahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
d. Dasar yang keempat diletakkan dalam Pasal 6, yaitu bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Tetapi ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3)).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, suatu hal yang sewajarnya tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan tersebut akan diperhatikan kepentingan fihak yang secara ekonomis lemah.
e. Hanya warga Indonesia yang dapat mempunyai hak atas tanah. Sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1, menurut Pasal 9 jo Pasal 21 ayat (1) hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat (2)). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badanbadan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (2)). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut Pasal 28, Pasal 35 dan Pasal 41). Dengan demikian dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (Pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu “escapeclause” yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya “escape-clause” ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (2)). Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
f. Kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Terkait dengan asas kebangsaan di atas ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2): “Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Sejalan dengan hal itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat kedudukan ekonominya. Dalam Pasal 26 ayat (1) ditentukan: “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah dimaksud.
Selanjutnya dapat ditunjuk pula ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Pasal 11 ayat (1), yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (Pasal 12 ayat (1)) dan Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)).
Bukan saja usaha swasta, tetapi usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (Pasal 13 ayat (3)).
g. Penataan ulang penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) mengatur suatu asas yang sedang menjadi dasar perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “landreform” atau “agrarian reform” yaitu”Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri”.
Supaya semboyan tersebut dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (Pasal 13 jo Pasal 17). Selain itu perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongangolongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini Pasal 7 memuat suatu asas yang penting, yaitu pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si-lemah oleh si-kuat (Pasal 24, Pasal 41 dan Pasal 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “freefight”, akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation de l-‘homme par l’homme”). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan didalam UU No. 2 Tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil” (L.N. 1960-2).
Ketentuan pasal 10 ayat (1) tersebut adalah suatu asas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat (2)). Dalam keadaan susunan masyarakat kita sekarang ini peraturan pelaksanaan itu nanti masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri, harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip (ayat (3)).
h. Perencanaan penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah. Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara tersebut, perlu suatu rencana (“planning”) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: Rencana Umum (“National planning”) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (“regional planning”) dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan perencanaan itu penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat.
3, Dasar-Dasar untuk Mengadakan Kesatuan dan Kesederhanaan Hukum Pertanahan
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II Undang-Undang Pokok Agraria.
a. Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hakhak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukumbarat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern/internasional. Sebagaimana dimaklumi hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
b. Dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2: “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keprluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan”. Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
c. Penghapusan perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut hukum adat yang disebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf (d) sampai dengan (g). Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat (1) huruf b dan c).
Adapun hak-hak yang ada mulai berlakunya Undang-Undang ini semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.
4, Dasar-Dasar untuk Menciptakan Kepastian Hukum
Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah tampak dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu perintah, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalulintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts- kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
D, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
UUD NRI 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Perubahan UUD NRI 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa:
a. kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
b. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
c. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-UUD NRI 1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, undang-undang ini juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006, yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti. Hal-hal penting dalam undang-undang ini antara lain sebagai berikut:
a. Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam undang-undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi. d. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
g. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
h. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi
E, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang 3 Tahun 2009
Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara (saat lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan sebelum diganti dengan RPJMN dan RPJMP) adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Suasana perikehidupan tersebut di atas merupakan bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa Indonesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan berkesinambungan.
Namun demikian pengalaman dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan perikehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling berkait satu dengan lainnya. Cita tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya adalah, hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan dibidang hukum dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini, salah satu pendekatan yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk:
a. memeriksa dan memutus: 1) permohonan kasasi; 2) sengketa tentang kewenangan mengadili; 3) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan undangundang.
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi: 1) jalannya peradilan; 2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim di semua Lingkungan Peradilan; 3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan; 4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan dari : 1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan; 2) Jaksa Agung; 3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi peradilan maupun administrasi umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan:
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia;
b. penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan di lingkungan: 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan yang mantap, jelas, dan tegas kepada lembaga ini. Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diganti dengan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah bahwa peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta sebagai upaya untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di negara hukum Republik Indonesia, dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.
Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini. Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan sistem karier. Untuk Hakim Agung yang didasarkan sistem karier berlaku ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041). Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik- baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang- undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”.
Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksanakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga memberikan kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri pembidangan tugas dalam susunan organisasinya sehingga dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka untuk memberi dukungan administrasi yang sebaik-baiknya, dalam Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap oleh Panitera Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa dengan demikian penyelenggaraan pelayanan administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan terpadu. Untuk itu, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Panitera Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Panitera Mahkamah Agung untuk tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan administrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian, peralatan, pemeliharaan, dan lain-lain.
Dengan pemisahan ini, panitera dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang bersifat teknis peradilan. Sedangkan pemberian dukungan administrasi yang meliputi administrasi keuangan, kepegawaian peralatan, pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal.
Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. undang-undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di samping guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam UUD NRI 1945, juga didasarkan atas Undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah dengan Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Substansi perubahan dalam undang-undang ini antara lain tentang penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam Undang-Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasi Mahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
Dalam rangka penyesuaian dimaksud dan mengakomodasi perkembangan hukum dalam masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, dilakukan perubahan kembali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Jadi, undang-undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut UUD NRI 1945. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B UUD NRI 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
F, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 mengupayakan terwujudnya keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem hukum yang merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara yang saat ini diganti dengan RPJMN dan RPJMP. Oleh karena itu untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dan untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman sebagaimana yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu. Untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, maka dasar yang selama ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan tata kerja, dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, perlu diganti dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-undang tentang Peradilan Umum ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang tercantum data Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undangundang menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Di samping itu sesuai dengan prinsip “diferensiasi” yang dicantumkan data Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan perubahannya, Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum sekaligus merupakan Pengadilan untuk perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara pelanggaran lalu lintas jalan, dan perkara lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi diatur dengan undang-undang tersendiri.
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi Pengadilan.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang perkara maupun di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lainnya, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan dalam undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung-jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu panitera yang merangkap sebagai sekretaris.
Selaku Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat dilaksanakan oleh staf sekretariat.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku. Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan khususnya para Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril maupun materiil.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap jabatan penasehat hukum, pelaksana putusan Pengadilan, wali, pengampu, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya. Selanjutnya diadakan pula larangan rangkapan jabatan bagi Panitera dan Jurusita.
Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Negeri di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang bermanfaat bagi rakyat pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan akan lebih terjamin.Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras, bahwa seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan dengan tegas dalam undang-undang ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim.Apabila ia melakukan perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 30. Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disahkan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh UUD NRI 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum antara lain sebagai berikut:
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan umum;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim.
Perkembangan berikutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diubah lagi (perubahan kedua) dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Perubahan undang-undang tersebut antara lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, maka perlu pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan ekstenal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan negeri maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara; 8. bantuan hukum;
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan umum secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana.
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN AGRARIA
Pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama undang-undang dan peraturan daerah harus didasarkan pada tiga argumentasi penting, yaitu argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara metodologis dalam penyusunan sebuah naskah akademis dari rancangan peraturan, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis merupakan abstraksi dari hasil kajian teoritis, konstatasi fakta empiris, dan evaluasi peraturan perundang-undangan sampai pada urgensi pembentukan suatu undangundang.
Oleh karena itu, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria ini merupakan abstraksi dari uraian-uraian dalam bab sebelumnya, terutama mengenai kajian teoritis dan konstataring fakta dalam sistem peradilan di Indonesia, hasil analisa dan evaluasi peraturan perundangundangan di bidang kelembagaan dan kompetensi masing-masing pengadilan, sampai pada pemikiran urgensi pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria.
A, Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945.44
Pembentukan Undang-Undang Pengadilan Agraria didasarkan pada beberapa argumentasi filosofis, yaitu:
a. Memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta keadilan dan kesejahteraan yang merata diseluruh wilayah Indonesia. b. Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan, termasuk memberikan jaminan keadilan, rasa aman dan bebas dari rasa takut serta dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945. c. Tanggungjawabnegara memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, melalui pengupayaan dan pemerataan pembangunan serta peningkatan akses di bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional di atas salah satunya melalui penyelenggaraan pengadilan yang cepat, murah dan sederhana. Hal ini sejalan dengan cita-cita pembangunan nasional. Pembangunan nasional Indonesia dalam pelaksanaanya mengacu pada strategi yang bersifat inklusif.45 Strategi ini sejalan dengan Pancasila yang menjadi pandangan hidup dan dasar falsafah di dalam setiap penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kerangka mewujudkan tujuan nasional, yaitu terutama butir sila ketiga dan kelima. Sila ketiga Pancasila adalah Persatuan Indonesia, dan sila kelima adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Strategi inklusif ini sesuai dengan sila-sila tersebut, oleh karena pembangunan yang
—————————————–
44 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
45Lihat Pidato Presiden Republik Indonesia Tentang Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Daerah di depan Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 19 Agustus 2009, hlm.1-2.
inklusif berarti pembangunan diselenggarakan secara holistik mencakup semua aspek kehidupan, komponen termasuk dalam sistem peradilannya.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, konstitusi telah memberikan amanat kepada pengelola negara untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional di seluruh wilayah nusantara, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yakni terwujudnya kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea ke-4 UUD NRI 1945 juga menyebutkan bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mandat ini tidak akan bisa dicapai apabila dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa tanpa disertai adanya tata kelola pemerintahan yang baik dan lebih khusus lagi pada sistem peradilannya.
Manifestasi yang sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari tujuan negara dan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum dalam pasal-pasal batang tubuh UUD NRI 1945. Pasal-pasal tersebut selain sebagai landasan konstitusional juga secara substantif sebagai landasan filosofis. Hal ini tercermin sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka kekuasaan kehakiman harus merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Selain prasyarat di atas, dalam suatu negara hukum harus mencerminkan bahwa:
a. semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
b. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; dan
e. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan demikian, secara filosofis hukum dan penegakannya melalui lembaga peradilan bertujuan untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Tujuan tersebut tampaknya memerlukan pengadilan khusus di bidang agraria dengan harapan: (1) mampu melakukan proses penemuan kebenaran materiil yang sangat diperlukan dalam penyelesaian konflik atau sengketa agraria, jika putusan pengadilan sungguh-sungguh diharapkan mewujudkan bukan hanya kepastian hukum namun lebih-lebih kemanfaatan dan keadilan dalam redistribusi sumberdaya agraria; (2) pengadilan khusus ini dapat mengeterapkan bukan hanya prinsip persamaan di hadapan hukum, namun jika memang diperlukan sesuai dengan amanah Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI 1945 juga mengeterapkan prinsip pemberian kemudahan dan perlakuan khusus kepada pihak tertentu yang bersengketa agar mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya agraria yang menjadi obyek sengketa sehingga pihak tertentu tersebut mencapai persamaan dan keadilan.
B, Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara yang terkait dengan sistem peradilan khususnya dalam penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah keagrariaan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di latar belakang bahwa tuntutan pendirian Pengadilan Agraria kembali diwacanakan kepada publik pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2005 oleh beberapa kalangan masyarakat, khususnya para advokat. Mereka mensinyalir bahwa tuntutan gugatan sengketa agraria ke Pengadilan Umum telah menimbulkan banyak keluhan tegasnya berupa rasa tidak percaya karena beberapa faktor yang melatar belakangi di antaranya: putusan pengadilan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, kinerja pelayanan SDM Agraria yang kurang baik, serta adanya campur tangan pihak ketiga yang dapat mempengaruhi imparsialitas putusan hakim.
Konflik agraria hingga kini terus terjadi bahkan semakin marak dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang menangani konflik agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap konflik agraria.46
Berbagai konflik agraria mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur sosial masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang, dan
—————————————–
46 Data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam bahwa dari 1.753 kasus konflik agraria di sepanjang Tahun 1970 – 2001 telah merambah 11 juta hektar tanah dan telah mengakibatkan sekitar 1 juta kepala keluarga (KK) menjadi korban. Dari ribuan kasus ini ternyata hanya sekitar 7,6 % yang masuk pengadilan dan sebagian besar berakhir dengan kekalahan di pihak warga. Selanjutnya lihat Lampiran Keputusan DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013 tentang Rekomendasi Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI, 2013, hlm. 2-3.
ketiga terjadi kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan turunan mutu manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber daya agraria. Karenanya, penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya suatu keadaan yang tidak memuaskan dan atau tidak memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan hidup dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam adalah syarat dari keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka. Namun, konflik agraria telah memporak-porandakan syarat keberlanjutan hidup mereka. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam konflik, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan penindasan baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaaperusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain.
Melihat berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia dan yang telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan, maka perlu adanya penanganan yang serius khususnya dari aspek penyelesaian sengketanya, melalui pembentukan lembaga pengadilan yang khusus menangani konflik-konflik keagrariaan.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan Negara atas sumber-sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai. Di sisi lain, masih terdapat kekurangan tenaga ahli di bidang hukum agraria (khususnya hukum tanah) di lingkungan pengadilan.
Pembentukan Pengadilan Agraria didasari berbagai pertimbangan, diantaranya: Pertama, penanganan konflik agraria selama ini masih bersifat parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada akar persoalan konflik.Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-ordinary sehingga perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary. Disebut extra-ordinary karena konflik agraria yang bersifat struktural, dimana pihak yang berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau komunitas dengan badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah.
Ketiga, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hakhak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas sumbersumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai. Keempat, adanya tuntutan pemenuhan prinsip fundamental kehidupan manusia yaitu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kelima, fakta sosiologis menunjukkan bahwa meluasnya konflik agraria dengan segala dimensi yang ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada sekarang untuk menyelesaikan konflik agraria dan dapat dimaknai juga bahwa kekuasaan eksekutif dan desakan kekuatankekuatan modal menunjukkan kehidupan bernegara di Indonesia tidak mencerminkan tata kehidupan bernegara yang demokratis dan jauh dari penegakan prinsip-prinsip negera yang berdasarkan hukum (rechstaat). Keenam, keberadaan peradilan agraria ini, tidak saja untuk kepentingan kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution) namun juga memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan (conflict prevention).
Ketujuh, kecepatan dan ketepatan peradilan agraria dalam menjawab konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-sosiologis terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Dalam hal ini, menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu yang bersifat extra ordinary menjadi sesuatu yang sangat penting, namun tentu saja perlu diwaspadai jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan subtansi dari pembentukan peradilan agraria ini, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial dalam bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan menghindari terjadinya peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan peradilan agraria, dan 2) Subtansi strategis yang direspon peradilan agraria.
C, Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada dan sangat dibutuhkan.
Secara substansi (kompetensi materi) yang berkaitan dengan persoalan-persoalan (konflik) pertanahan selama ini diselesaikan melalui Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ruang lingkup kompetensi Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata baik ditingkat pertama maupun tingkat banding. Sedangkan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.Kompetensi kedua peradilan tersebut jika dikaitkan dengan masalah pertanahan ruang lingkup penangannya hanya berkaitan dengan permasalahan kepemilihan dan hakhak atas tanah, baik yang menyangkut aspek keperdataan, pidana maupun administratif. Sedangkan masalah-masalah konflik agraria yang ruang lingkupnya jauh lebih luas dan dampaknya jauh lebih besar, belum menjadi ruang lingkup penanganan peradilan ini. Terlebih lagi masih banyaknya konflik-konflik agraria yang belum terselesaikan dan tertangani dengan tuntas, serta dengan mengacu pada sejumlah ketentuan yang ada, perlu dibentuk pengadilan agraria. Ketentuan yang dimaksudkan antara lain adalah :
1. UUD NRI 1945 khususnya Pasal 24 jo. Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3). Ketentuan-ketentuan memberikan arahan amanah bahwa peradilan harus diarahkan pada penegakan hukum dan juga keadilan (Pasal 24 ayat (1) dengan cara menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama (Pasal 28D ayat (1)), namun jika perlakuan yang sama justru menyebabkan terjadinya ketidak-adilan maka putusan pengadilan itu harus mampu memberikan kemudahan dan perlakuan khusus agar seseorang mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya agraria sehingga seseorang tersebut mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat (2)). Pengadilan khusus bidang agraria diharapkan dapat melaksanakan amanah tersebut sehingga cita-cita sumberdaya agraria dapat menjadi sumber kemakmuran bagi semua orang akan dapat diujudkan;
2. TAP MPR No.IX/MPR/2001 khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan ayat (2) huruf e yang mengamanahkan untuk menyelesaikan konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria bagi terlaksananya penegakan hukum dengan mendasarkan pada sejumlah prinsip sebagaimana tertuang Pasal 5. Amanah lainnya yaitu memperkuat kelembagaan serta kewenangan dan pembiayaan kelembagaan yang bertugas dalam penyelesaian konflik dan reforma agraria. Artinya, jika penyelesaian konflik agraria harus diselesaikan di pengadilan, TAP MPR ini membuka kemungkinan untuk membentuk pengadilan khusus bidang konflik agraria sebagai bagian dari penguatan terhadap lembaga peradilan umum;
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 27 yang memperkenankan pembentukan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara serta pembentukannya diatur dalam Undang-undang. Artinya, pembentukan pengadilan khusus bidang Agraria di lingkungan peradilan-peradilan tersebut dibuka dengan pertimbangan pengadilan yang berlangsung saat ini tidak mampu menyelesaikan secara tuntas sumber konflik atau sengketa agraria. Syaratnya adalah pembentukannya diatur dalam undang-undang. Istilah “dalam undang-undang” mengandung makna dapat dalam suatu undang-undang tersendiri atau sebagai bagian dari undang-undang yang memuat hukum materiil agrarian atau perpaduan keduanya. Dengan pertimbangan bahwa pengadilan agraria mempunyai kompetensi absolute terhadap sengketa yang bersumber dari penguasaan dan pemanfaatan semua sumberdaya agraria, pilihan pembetukannya dilakukan dengan undang-undang tersendiri karena secara teknis tidak mungkin memasukkan pengaturan pembentukannya dalam masingmasing Undang-Undang sumber daya agrarian yaitu tanah, hutan, tambang, air, dan sumber daya alam lainnya.
Selain itu, secara yuridis dorongan pembentukan lembaga Pengadilan Agraria lebih dikarenakan:
1. Secara materiil konflik-konflik agraria belum tertangani oleh lembaga peradilan yang telah ada.
2. Mewujudkan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.47
3. Dimungkinkannya suatu pengadilan khusus dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dengan suatu undang-undang.48
4. Untuk menciptakan Pengadilan Agraria yang memenuhi prinsip-prinsip peradilan yang cepat, murah dan sederhana serta berkeadilan.
—————————————–
47 Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf d dan ayat (2) hurf e Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
48 Lihat ketentuan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.
BAB V POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN AGRARIA
A, Paradigma dan arah pengaturan yang diinginkan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus diwujudkan oleh penyelenggara negara. Perwujudannya termasuk dalam hal menata sumber daya agraria dan menyelesaikan sengketa agraria. Sejalan dengan itu, harus disiapkan sarana penyelesaian sengketa berupa Pengadilan Agraria, berikut aparatur penyelenggaranya, tata cara atau mekanisme beracara di dalamnya. Selain itu harus dicegah berbagai kemungkinan yang merongrong tercapainya tujuan mewujudkan tujuan tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut harus diatur secara tepat mengenai asas, kedudukan dan tempat kedudukan pengadilan ini, kewenangan, syarat-syarat calon hakim, prosedur pengisian, pengangkatan, pemberhentian, Majelis Kehormatan Hakim, Panitera, Saksi, Keterangan Ahli, Putusan, Pelaksanaan Putusan, sengketa tanah adat, transparansi dan akuntabilitas, pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Arah pengaturan dalam undang-undang ini adalah memberi arah bagi terselenggaranya Pengadilan Agraria yang dapat mewujudkan kepastian hukum, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang diselenggarakan dengan proses cepat dan biaya murah, dengan lebih mengutamakan kebenaran materiil.
B, Ruang Lingkup dan Materi Muatan RUU Pengadilan Agraria 1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria memuat rumusan akademik mengenai batasan, definisi, alternatif, singkatan, atau akronim yang digunakan dalam penyusunan norma. Referensi rumusan ini berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sehingga rumusan ketentuan umum menjadi komprehensif.
Ketentuan umum yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria adalah mengenai pengertian yang digunakan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Agraria adalah bumi, air baik air permukaan maupun air tanah, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah berupa sumberdaya hutan dan di dalam perut bumi berupa bahan tambang.
b. Tanah adalah permukaan bumi, baik yang ada di daratan maupun di bawah air laut.
c. Tanah adat adalah bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu.
d. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah perangkat kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria terutama tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya, yang timbul dari hubungan secara batiniah dan lahiriah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
e. Pengadilan Agraria adalah pengadilan khusus yang dibentuk di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara agraria.
f. Perkara agraria adalah perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang tanah, hutan, air, dan tambang.
g. Sengketa adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antarsubyek hukum karena adanya perselisihan mengenai hak atau kepentingan terkait penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
h. Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul karena adanya pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.
i. Sengketa kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaa, kepemilikan dan pemanfaatan dibidang sumber daya agraria antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai sumber daya agraria dalam skala besar.
j. Mediasi sengketa agraria yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
k. Mediator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut mediator adalah hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi untuk menyelesaikan sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
l. Konsiliasi Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
m. Konsiliator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliator adalah hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
n. Hakim Karier adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Agraria.
o. Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang diangkat dengan syarat-syarat dan mekanisme yang telah ditentukan untuk menjadi hakim ad-hoc pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Tingkat Kasasi.
p. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria.
q. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
2. Asas
Pengadilan Agraria ini dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang ini harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara khususnya pencari keadilan dibidang agraria.
b. Kemanfaatan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undangundang ini harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
c. Kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan dalam undangundang ini harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
d. Responsif adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang ini harus dapat menampung kepentingan para pencari keadilan dibidang agraria.
e. Kebenaran materiil adalah bahwa materi muatan dalam undang-undang ini selain mengedepankan kebenaran formil juga kebenaran materiil untuk mencapai keadilan yang hakiki.
3, Kedudukan dan tempat kedudukan
Pengadilan Agraria adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan di bidang agraria. Pengadilan Agraria merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan Agraria pada Tingkat Pertama berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan Agraria pada Tingkat Banding berkedudukan di ibu kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Agraria pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota yang memiliki konflik agraria cukup tinggi, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri setempat.
Sidang Pengadilan Agraria dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Dalam hal sengketa kepentingan hakim wajib melakukan pemeriksaan setempat. Tempat sidang tersebut ditetapkan oleh Ketua.
4, Lingkup Kewenangan
Pengadilan Agraria bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus: di tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi mengenai sengketa hak yang menyangkut penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; di tingkat pertama dan kasasi mengenai sengketa kepentingan yang terkait dengan : (1) penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; atau (2) perampasan tanah.
5, Susunan Pengadilan Agraria
Pengadilan Agraria terdiri dari Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar Pengadilan Negeri, merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama. Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar Pengadilan Tinggi, merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Banding. Pengadilan Agraria Tingkat Pertama dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pengadilan Agraria Tingkat Banding dibentuk dengan undang-undang.
Susunan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita. Susunan Pengadilan Agraria Tingkat Banding terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Pimpinan Pengadilan Agraria Tingkat Banding terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Hakim Anggota Pengadilan Agraria Tingkat Banding adalah Hakim Tinggi.
Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria Tingkat Pertama sekurangkurangnya terdiri dari 9 (sembilan) orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua dengan unsur 3 (tiga) orang hakim karier dan 6 (enam) orang hakim ad hoc. Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria Tingkat Banding sekurangkurangnya terdiri dari 6 (enam) orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua dengan unsur 2 (dua) orang hakim karier dan 4 (empat) orang hakim ad hoc.
A, Majelis Hakim
Pemeriksaan perkara agraria dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Agraria yang berjumlah 3 orang, terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pada Pengadilan Agraria dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Majelis hakim diketuai oleh hakim karier dari Pengadilan Agraria.
Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri. Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Hakim karier pada Tingkat Kasasi ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung. Hakim karier dimaksud ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk memilih dan mengusulkan Hakim ad hoc, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi. Panitia seleksi bertugas melakukan penerimaan pendaftaran dan penyeleksian. Ketentuan mengenai Panitia Seleksi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim karier dan Hakim ad hoc diangkat selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim karier pada Pengadilan Agraria, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman menangani perkara perdata, terutama sengketa keagrariaan;
c. menguasai hukum adat setempat yang berkaitan dengan keagrariaan;
d. cakap, jujur, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/ atau terlibat dalam perkara pidana; dan f. memiliki sertifikat khusus sebagai hakim karier Pengadilan Agraria.
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun;
e. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana Hukum;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan h. berpengalaman sebagai ahli di bidang agraria minimal 5 (lima) tahun.
Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :
“ Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Nilai-nilai Proklamasi, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Banding diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi atau pejabat yang ditunjuk. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Kasasi diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung atau pejabat yang ditunjuk. Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil; e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara; atau h. Komisaris atau direksi suatu perusahaan.
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas, jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
B, Pemberhentian Hakim
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Tingkat Kasasi diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 68 (enam puluh delapan) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama dan Tingkat Banding serta telah berumur 70 (tujuh puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Tingkat Kasasi;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau
f. telah selesai masa tugasnya.
Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria sebelum diberhentikan tidak dengan hormat dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan berlaku pula ketentuan sebagaimana di atas.
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama paling sedikit 6 (enam) orang dan pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding paling sedikit 4 (empat) orang.
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) sesuai dengan kewenangannya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Banding, Hakim Ad-Hoc Banding, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) sesuai dengan kewenangannya. Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Hakim Ad Hoc Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Agraria pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc. Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Tinggi dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Banding dan Hakim Ad-Hoc Banding. Dalam melakukan pengawasan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi dan Hakim Ad Hoc Kasasi. Petunjuk dan teguran dimaksud tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Agraria dalam memeriksa dan memutus sengketa.
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria diatur dengan Keputusan Presiden.
C, Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Agraria dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Sub Kepaniteraan mempunyai tugas
menyelenggarakan administrasi Pengadilan Agraria dan membuat daftar semua sengketa yang diterima dalam buku perkara. Buku perkara, sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis sengketa. Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Agraria diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang agraria. Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Agraria diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad Hoc, dan Panitera Pengganti. Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan. Semua buku perkara dan surat-surat dimaksud baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
d, Mejelis Kehormatan Hakim
Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Majelis Kehormatan Hakim bertugas:
a. meneliti dan meminta keterangan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim yang diusulkan untuk: diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan tidak dengan hormat
b. mengusulkan pemberhentian sementara dari jabatan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim karena diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat.
Sidang Majelis Kehormatan Hakim diselenggarakan secara tertutup.
6. Hukum Acara
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agraria adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dalam proses beracara di Pengadilan Agraria, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
a. Pengajuan Gugatan
Gugatan diajukan pada Pengadilan Agraria dimana obyek sengketanya berada di wilayah pengadilan yang bersangkutan. Gugatan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Agraria. Jika gugatan diajukan secara lisan maka Panitera wajib mencatat pokok gugatan yang disampaikan oleh penggugat. Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Agraria hanya apabila disetujui tergugat.
b. Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Mediasi atau Konsiliasi
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah memanggil para pihak (penggugat dan tergugat). Pemanggilan dimaksudkan untuk memberikan tawaran kepada para pihak, apakah para pihak akan menggunakan jalur mediasi atau konsiliasi dalam penyelesaian sengketanya. Jika jalur mediasi atau konsiliasi dipilih oleh para pihak, maka Ketua Pengadilan Negeri menyerahkan kepada para pihak untuk menunjuk Mediator atau Konsiliator selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak pilihan jalur penyelesaiang sengketa tersebut dibuat. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja para pihak belum dapat menunjuk mediator atau konsiliator, maka Ketua Pengadilan Negeri yang menunjuk Mediator atau Konsiliator.
Jangka waktu penyelesaian sengketa melalui Mediasi atau Konsiliasi adalah: Untuk sengketa hak 40 (empat puluh) hari. Untuk sengketa kepentingan 60 (enam puluh) hari. Jika dalam jangka waktu tersebut belum menghasilkan kesepakatan, Mediator atau Konsiliator dengan kesepakatan para pihak dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan perpanjangan waktu: Untuk sengketa hak 14 (empat belas) hari. Untuk sengketa kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Apabila perpanjangan waktu tetap belum menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri melimpahkan penyelesaian sengketa tersebut ke jalur persidangan pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tidak bersifat berjenjang.
1) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang dipilih dan disepakati oleh para pihak. Pilihan mediator tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri penerima perkara. Mediator yang dipilih dan disepakati harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia; c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang agraria;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g. syarat lain yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian sengketa, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan segera mengadakan sidang mediasi.
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan Agraria melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan Agraria melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan.
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam puluh) hari kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu tersebut belum menghasilkan kesepakatan, Mediator dengan persetujuan para pihak dapat mengajukan perpanjangan mediasi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk sengketa kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu yang telah diperpanjang terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur persidangan di pengadilan.
Mediator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya honorarium/imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Kinerja Mediator dalam menangani sengketa dipantau dan dinilai oleh Ketua Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
2) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa oleh konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima pengajuan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi oleh para pihak, mempersilakan kepada para pihak untuk menunjuk konsiliator yang disepakatinya. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria. Konsiliator yang telah ditunjuk oleh apara pihak, wajib lapor kepada kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Konsiliator harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang Agraria sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan/agraria; dan i. syarat lain yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Konsiliator yang telah terdaftar diberi legitimasi oleh Ketua Mahkamah Agung atau Pejabat yang berwenang di bidang Pertanahan/Agraria.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian sengketa secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa agraria melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa Agraria melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam puluh) hari kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu belum menghasilkan kesepakatan, Konsiliator dengan persetujuan para pihak dapat mengajukan perpanjangan konsiliasi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk sengketa kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu perpanjangan terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur persidangan di pengadilan.
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Kinerja konsiliator dalam menangani sengketa dipantau dan dinilai oleh Ketua Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
3) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Persidangan Pengadilan
Apabila para pihak tidak bersepakat memilih jalur Mediasi atau Konsiliasi atau jangka waktu penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi telah habis namun tidak menghasilkan kesepakatan dari para pihak, maka Ketua Pengadilan Negeri membentuk dan menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim Karier sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus sengketa. Penetapan dan pembentukan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu penyelesaian melalui jalur Mediasi atau Konsiliasi.
a) Persiapan Persidangan
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak adanya kesepakatan para pihak untuk tidak menggunakan jalur mediasi maupun konsiliasi atau habisnya jangka waktu penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang tidak menghasilkan kesepakatan, Ketua Pengadilan Negeri sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Karier sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang akan memeriksa dan memutus perkara yang diajukan. Setelah terbentuk majelis hakim, maka majelis hakim wajib mamanggil para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Untuk membantu tugas Majelis Hakim ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
b) Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir. Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Agraria yang memeriksanya.
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undangundang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan. Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan, setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Dalam putusan Pengadilan Agraria ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian sengketa agraria.
c) Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Agraria supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam hal permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan, menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
d) Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, kesaksian, fakta-fakta yang ada, perjanjian yang ada, kesejarahan, kebiasaan, kemanfaatan dan keadilan. Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang, Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut. Putusan Majelis Hakim merupakan
putusan Pengadilan Agraria. Tidak dipenuhinya ketentuan dimaksud berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/ tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Agraria.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan dengan batas waktu tertentu. Untuk penyelesaian sengketa hak dalam waktu selambatlambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Untuk penyelesaian sengketa kepentingan dalam waktu selambatlambatnya 150 (seratus lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Putusan Pengadilan Agraria ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Panitera Pengganti Pengadilan Agraria dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan. Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus
sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agraria dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan banding atau kasasi.
Putusan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan hukum tetap apabila :
a. Untuk sengketa hak tidak diajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja; dan
b. Untuk sengketa kepentingan tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Penentuan 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan banding atau kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri setempat. Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk permohonan banding atau kepada Ketua Mahkamah Agung untuk permononan kasasi.
e) Penyelesaian Sengketa Agraria oleh Hakim Banding
Majelis Hakim Banding terdiri atas satu orang Hakim Tinggi dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara sengketa Agraria pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Tata cara permohonan banding dan penyelesaian sengketa hak oleh Hakim Banding dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian
sengketa hak pada Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
f) Penyelesaian Sengketa Agraria oleh Hakim Kasasi
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara sengketa Agraria pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
g) Pembuktian
Alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi; dan/atau
d. pengakuan para pihak;
e. persangkaan,
f. sumpah, dan
g. penguasaan fisik.
h. rekaman/video yang kebenarannya tidak diragukan
Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.
Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli. Dalam hal perkara yang berkaitan dengan/menyangkut tanah adat/masyarakat hukum adat, Hakim harus menghadirkan saksi ahli dari lingkungan masyarakat hukum adat setempat. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam:
a. Sengketa hak, merupakan beban dan tanggung jawab penggugat; dan
b. Sengketa kepentingan, merupakan beban dan tanggung jawab tergugat.
7. Transparansi Dan Akuntabilitas
Pengadilan Agraria wajib memberikan pelayanan hukum terhadap pihakpihak yang berperkara sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bersih secara transparan dan akuntabel. Untuk mendukung pelaksanaa fungsi pengadilan, pada Pengadilan Agraria dibangun sistem manajemen dan administrasi perkara secara online.
Pengadilan wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat mengenai:
a. perkara yang didaftar, diperiksa dan diputus; dan
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan sebagaimana dimaksud dimuat dalam Laporan Tahunan yang diterbitkan oleh Pengadilan Agraria.
Para pihak berhak mengetahui informasi mengenai proses pemeriksaan setiap perkara dan mendapatkan putusan Pengadilan Agraria. Pengawasan terhadap perilaku Hakim Pengadilan Agraria dilakukan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan atas teknis pengadilan dilakukan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI P E N U T U P
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara berwenang untuk menguasai bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan keagrariaan, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan; hubungan hukum antara orang dengan sumber daya agraria; dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai agraria.
Kedua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur dan menjabarkan tentang agraria dalam pokok-pokok atau garis besarnya. Namun demikian UUPA perlu dilengkapi. Selanjutnya dengan berbagai perkembangan pada tahun 1970an cenderung diarahkan pada pertumbuhan, berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA. Karena itu perlu diluruskan kembali.
Ketiga, Undang-Undang tentang Peradilan Agraria disusun untuk melengkapi dan menjabarkan UUPA dan meluruskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip UUPA. Untuk mendukung upaya ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip UUPA diperkuat dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria.
Berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian dapat disampaikan saran bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria merupakan keniscayaan untuk memberikan keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria, secara adil berdasarkan UUPA. Lebih lanjut, Mahkamah Agung perlu membentuk kamar khusus di bidang pertanahan, yang berisi hakim agung yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum agraria (khususnya pertanahan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo (1997), Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-putusan Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta: Elsam
Achmad Sodiki, 2013. Politik Hukum Agraria, Jakarta : Konsitusi Press.
AristionoNugroho, dkk., 2011, Ngandangan Kontemporer: Implikasi Sosial Land Reform Lokal, STPN Press, Yogyakarta.
Arya W Wirayuda, 2011, Dari Klaim Sepihak Hingga Land Reform: Konflik Penguasaan Tanah Di Surabaya 1959-1967, STPN Press, Yogyakarta.
Christodoulou, D, 1990. The Unpromised Land. Agrarian Reform an Conflict Worldwide,London and New Jersey: Zed Books.
Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah
Dianto Bachriadi & Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA.
Elsa Syarif, 2012. Menuntaskan Sengketa Melalui Pengadila Khusus Pertanahan. Jakarta : Gramedia
Endriadmo Soetarto dan Shohibuddin, 2005, Reforma Agraria; Prasyarat Utama Bagi REvitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: KPA
Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press.
Herman Soesangobeng, 2012. Filosofi, Azas,Ajaran dan Teori Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia.
KPA, Bina Desa, Pokja PSDA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan. Jakarta: Pokja PSDA.
————–, 1999. Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria. Bandung: KPA
Maria S.W. Sumardjono, 2009. Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi, Jakarta : penerbit buku kompas.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta.
Noer Fauzi, 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria; Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecendrungan Global. Yogyakarta : Insist Press.
Noer Fauzi Rachman, 2011, Pengantar dalam Mulyani, Lilis, dkk (2011) Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan : Analisis Hukum dan Kelembagaan. Jakarta : PMB LIPI dan PT Gading Inti Prima.
Tim Kerja Komnas HAM-KPA-HuMA-Walhi-Bina Desa, 2004. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. Jakarta: Tim Kerja Komnas HAM.
Yanis Maladi, 2008, Pendaftaran Tanah Nasional dan Kehidupan Hukum Masyarakat (Perspektif Teori-Teori Sosial), Mahkota Kata, Yogyakarta.
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta.
B. Disertasi
Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Aslan Noor, 2003, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Ilyas, 2005, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Ajaran Negara Kesejahteraan, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Muchsan, 1997, Perbuatan Pemerintah Dalam Memperoleh Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Parlindungan A.P., 1975, Pandangan Kritis Berbagai Aspek Dalam Pelaksanaan UUPA Di Daerah Jambi, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Ronald Z Titahelu, 1993, Penerapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-sebesar Kemakmuran Rakyat: Suatu Kajian Filsafati dan Teoretik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah Di Indonesia, Disertasi, UNAIR, Surabaya.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Gagasan Pendirian Pengadilan Agraria Perspektif DPD RI
© Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2014
PENASEHAT: Pimpinan Komite I DPD RI Sekretaris Jenderal DPD RI Wakil Sekretaris Jenderal DPD RI
PENANGGUNGJAWAB: Adam Bachtiar. SH., MH. Dra. Mesranian, MDev.Plg. Indra Hardiansyah, S.IP., MM. Muhamad Ilham Nur Rizal, SH
PENULIS: Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria Dr. Moh. Fadli, SH., MH. Dr. Fendi Setyawan, SH., MH. Dr. Jazim Hamidi, SH., MH. Drs. Idham Arsyad, M. Ag.
EDITOR: Yance Arizona, SH, MH Dr. Moh. Fadli, SH., MH. Wahyu Taufik, SH Betria Eriani, SE
ILUSTRATOR Haris Agustin Muhammad Sidik Permana Budi Pratama Kiki Yanuar Setiawan
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak
asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi.
Sebagaiman kita ketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan telah berlaku efektif tanggal 30 April 2010. Lahirnya Undang-undang Keterbukaan Informasi publik merupakan prestasi bangsa dalam rangka mewujudkan demokrasi bangsa, dimana salah satu ciri kehidupan demokrasi adalah keterbukaan. Keterbukaan Informasi Publik mempunyai makna yang luas, karena semua pengelolaan badan-badan publik harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.Badan Publik tersebut antara lain lembaga Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan Organisasi Masyarakat yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari dana publik, terkena kewajiban untuk menyampaikan informasi secara terbuka.
Editor cyber : Dedy Tisna Amijaya,S.T.